Waspada Gelombang Berita Bohong Jelang Pilpres 2019

Jumat, 1 November 2019 - 10:34 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sebuah studi yang dilakukan Ohio State University, Amerika Serikat, baru-baru ini mengungkap bahwa fake news (berita bohong alias hoaks) merupakan faktor penting yang turut memengaruhi pergeseran pilihan para pendukung calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, di hari penjoblosan pemilihan presiden 2016. Telaah menunjukkan: sekitar 4% pemilih yang pada pilpres 2012 mendukung Presiden Barack Obama justru mengalihkan suaranya ke kandidat Partai Republik, Donald Trump. Keputusan mereka ternyata banyak dipengaruhi cerita-cerita palsu.

Artikel bohong yang berseliweran di sejumlah platform media sosial (medsos) menjelang pilpres di AS sangat banyak. Russia yang memang berkepentingan untuk memenangkan Doland Trump dituding ikut memproduksi hoaks yang mereka siarkan terutama lewat medsos seperti Facebook. Jumlah postingan yang disebar pun begitu masif.

Facebook sendiri telah mengakui postingan dari akun palsu terkait dengan pihak Russia telah dilihat oleh sekitar 126 juta warga AS. Akun palsu Facebook milik para agen Russia itu memunculkan sekitar 80.000 postingan selama lebih dari 2 tahun. Tujuannya jelas yakni untuk memengaruhi politik AS. Terbukti efektif dan berhasil, nampaknya strategi ini pun seolah menjadi modus yang dipraktikkan di sejumlah negara.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada pilpres di Brazil yang baru lalu misalnya kemenangan calon dari Partai Liberal Sosial (PSL) Jair Bolsonaro, tokoh yang juga disebut-sebut sebagai Donald Trump-nya Amerika Latin, tak lepas dari berkat hoaks. Tujuannya untuk menggembosi dukungan terhadap lawannya dari Partai Buruh, Fernando Haddad dan Manuel d’Avila.

Facebook dan WhatsApp (WA) sebenarnya mengambil langkah untuk mencegah penyebaran hoaks. Facebook setidaknya sudah melipatgandakan tim keamanan dan menghapus konten-konten informasi bohong. Menjelang pilpres, WhatsApp menonaktifkan kurang lebih 100.000 akun pengguna yang diketahui sebagai peternak hoaks. Tetapi nyatanya, upaya tersebut tak mampu mengatasi keadaan. Alexia Fernandez Campbell dalam laporannya di Vox menyatakan, kemenangan Bolsonaro tak lepas dari penggunaan hoaks untuk menggembosi dukungan terhadap Haddad.

Baca Juga:  Anomali Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme

Jika merunut pada sejarah, sesungguhnya modus penyebaran fake news bukan hal baru. Usianya mungkin setua news itu sendiri. Di Barat, hoaks atau konten disinformasi mulai nyata muncul selama Perang Dunia I. Pada waktu itu hoaks dikenal sebagai ‘cerita-cerita kamuflase’ yang dimuat di koran lokal. Tujuannya untuk ‘menyesatkan atau mengelabui’ musuh. Ternyata, cara tersebut efektif.

Kini, di zaman yang sudah serba digital, hoaks semakin mudah dikonsumsi dan sulit ditanggulangi. Lalu, mengapa fake news begitu laku? Tanpa bermaksud membela para penyebar hoaks, barangkali hal ini terkait juga dengan kegagalan media massa menyesuaikan diri dengan selera generasi milenial serta memahami cara mereka mengonsumsi berita. Kalangan ini akan melahap sajian berita yang sesuai selera dari sumber yang tidak dipercaya. Para jurnalis terlambat memahaminya.

Sebuah riset Institut Teknologi Massachusetts (MIT), AS, menunjukkan fake news itu 70 kali dikicaukan ulang dibandingkan berita yang benar. Sementara berita benar paling banyak akan didiskusikan kembali oleh 1.600 orang. Sedangkan sebuah hoaks bisa menjadi isu yang di-retweet sehingga bisa dibaca oleh hampir 47.000 pengguna. Bandingkan perbedaan angka yang mencolok tersebut. Apalagi, masyarakat pada umumnya senang berbagi informasi. Dengan perkembangan teknologi digital yang penetrasinya hingga berbagai kalangan, peredaran informasi menjadi kian sulit terbendung.

Baca Juga:  Mengenal Jalur Gaza, Siapa yang Menguasainya? Inilah yang Perlu Diketahui tentang Hamas

Studi lain juga menunjukan bahwa fake news ditulis dengan ‘lebih apik dan menarik.’ Misalnya, hoaks yang beredar selama pilpres di AS yang berlangsung mulai 2016 hingga 2017, telah ditulis dengan jumlah paragraf yang lebih sedikit namun panjang, memuat banyak kata slang, umpatan, dan kalimat-kalimat efektif. Headline berita fake news berisi lebih banyak kata dan tanda baca serta disajikan dengan demonstratif, emosi, serta meminimalkan fakta yang bisa diverifikasi.

Di Indonesia, menjelang pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) serentak pada April mendatang kabar bohong atau hoaks pun semakin marak. Data di kepolisian memerlihatkan ada ribuan hoaks beredar di media sosial setiap hari. Bahkan hoaks diprediksi akan semakin banyak hingga masa pemungutan suara pada April 2019. Hoaks politik dipastikan akan semakin meningkat.

Menurut catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), sarana yang paling banyak digunakan untuk menyusun hoaks adalah narasi dan foto (50,43%), narasi (26,96%), narasi dan video (14,78%), dan foto (4,35%). Dari jumlah tersebut, hoaks paling banyak disebarkan di Facebook (47,83%), Twitter (12,17%), Whatsapp (11,74%), dan Youtube (7,83%).

Sepanjang 2018, banyak berita bohong bertebaran di media sosial. Komenterian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengidentifikasi 10 hoaks paling menggemparkan. Salah satunya adalah berita bohong penganiayaan seniman dan aktivis Ratna Sarumpaet oleh sekelompok orang yang beredar pada 2 Oktober 2018 di akun Facebook milik Swary Utami Dewi. Unggahan itu kemudian diviralkan melalui Twitter. Sejumlah tokoh politik bahkan membenarkan berita tersebut tanpa melakukan verifikasi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Tajukflores.com. Mari bergabung di Channel Telegram "Tajukflores.com", caranya klik link https://t.me/tajukflores, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca juga berita kami di:

Berita Terkait

Digdaya PT Flobamor Kendalikan Pariwisata Taman Nasional Komodo: Tarif Naik, Kualitas Pelayanan Buruk!
Kurikulum Merdeka, Nasib Guru Bahasa Jerman di Ujung Tanduk
Menguak Aliran Dana Philip Morris, Pemegang Saham PT HM Sampoerna Tbk ke Israel
Menakar Kans Koalisi Pengusung Anies Baswedan Bubar Kala Demokrat-PDIP Tampil Mesra
Kontroversi dalam Karier Sutradara Film Porno Kelas Bintang, Dari Sinetron ke Film Dewasa
Romo AS: Kasus Pastor Bunuh Diri dan Dugaan Salah Urus Gereja
Ridwan Kamil, Misi Partai Golkar Rebut Jawa Barat dari Gerindra dan PDIP
Menjadi Konten Kreator Tiktok, Rela Alih Profesi demi Fulus
Berita ini 15 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 28 Maret 2024 - 11:59 WIB

Deretan Pernikahan Mewah Bak Cinderella Selebriti Indonesia yang Berakhir Tidak Bahagia, Ada Harvey Moeis dan Sandra Dewi

Jumat, 22 Maret 2024 - 19:09 WIB

Diduga Disantet sebelum Meninggal, Stevie Agnecya Sebut Pelakunya Perempuan Hamil

Jumat, 22 Maret 2024 - 18:40 WIB

Sebelum Meninggal, Stevie Agnecya Mengaku Disantet Perempuan!

Jumat, 22 Maret 2024 - 15:12 WIB

Benarkah Stevie Agnecya Mantan Istri Aktor Samuel Rizal Meninggal karena Santet?

Jumat, 22 Maret 2024 - 11:08 WIB

Meninggal Dunia, Mantan Istri Samuel Rizal, Stevie Agnecya Ngaku Jadi Lebih Tenang setelah Jadi Mualaf

Rabu, 20 Maret 2024 - 21:51 WIB

Pakar Kerajaan Kecam Rumor Keji dan Konspirasi Jahat Menyerang Kate Middleton

Rabu, 20 Maret 2024 - 19:13 WIB

Konser TREASURE di Jakarta: Harga Tiket, Cara Beli, dan Info Lengkap

Selasa, 19 Maret 2024 - 18:09 WIB

Vokalis SORE Ade Paloh Meninggal Dunia saat ke RS, Begini Cerita Kerabat Dekat

Berita Terbaru

10 Rekomendasi Hadiah Lebaran Terbaik untuk Keponakan Tercinta

Gaya Hidup

10 Rekomendasi Hadiah Lebaran Terbaik untuk Keponakan Tercinta

Kamis, 28 Mar 2024 - 14:45 WIB