Sebuah studi yang dilakukan Ohio State University, Amerika Serikat, baru-baru ini mengungkap bahwa fake news (berita bohong alias hoaks) merupakan faktor penting yang turut memengaruhi pergeseran pilihan para pendukung calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, di hari penjoblosan pemilihan presiden 2016. Telaah menunjukkan: sekitar 4% pemilih yang pada pilpres 2012 mendukung Presiden Barack Obama justru mengalihkan suaranya ke kandidat Partai Republik, Donald Trump. Keputusan mereka ternyata banyak dipengaruhi cerita-cerita palsu.
Artikel bohong yang berseliweran di sejumlah platform media sosial (medsos) menjelang pilpres di AS sangat banyak. Russia yang memang berkepentingan untuk memenangkan Doland Trump dituding ikut memproduksi hoaks yang mereka siarkan terutama lewat medsos seperti Facebook. Jumlah postingan yang disebar pun begitu masif.
Facebook sendiri telah mengakui postingan dari akun palsu terkait dengan pihak Russia telah dilihat oleh sekitar 126 juta warga AS. Akun palsu Facebook milik para agen Russia itu memunculkan sekitar 80.000 postingan selama lebih dari 2 tahun. Tujuannya jelas yakni untuk memengaruhi politik AS. Terbukti efektif dan berhasil, nampaknya strategi ini pun seolah menjadi modus yang dipraktikkan di sejumlah negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada pilpres di Brazil yang baru lalu misalnya kemenangan calon dari Partai Liberal Sosial (PSL) Jair Bolsonaro, tokoh yang juga disebut-sebut sebagai Donald Trump-nya Amerika Latin, tak lepas dari berkat hoaks. Tujuannya untuk menggembosi dukungan terhadap lawannya dari Partai Buruh, Fernando Haddad dan Manuel d’Avila.
Facebook dan WhatsApp (WA) sebenarnya mengambil langkah untuk mencegah penyebaran hoaks. Facebook setidaknya sudah melipatgandakan tim keamanan dan menghapus konten-konten informasi bohong. Menjelang pilpres, WhatsApp menonaktifkan kurang lebih 100.000 akun pengguna yang diketahui sebagai peternak hoaks. Tetapi nyatanya, upaya tersebut tak mampu mengatasi keadaan. Alexia Fernandez Campbell dalam laporannya di Vox menyatakan, kemenangan Bolsonaro tak lepas dari penggunaan hoaks untuk menggembosi dukungan terhadap Haddad.
Jika merunut pada sejarah, sesungguhnya modus penyebaran fake news bukan hal baru. Usianya mungkin setua news itu sendiri. Di Barat, hoaks atau konten disinformasi mulai nyata muncul selama Perang Dunia I. Pada waktu itu hoaks dikenal sebagai ‘cerita-cerita kamuflase’ yang dimuat di koran lokal. Tujuannya untuk ‘menyesatkan atau mengelabui’ musuh. Ternyata, cara tersebut efektif.
Kini, di zaman yang sudah serba digital, hoaks semakin mudah dikonsumsi dan sulit ditanggulangi. Lalu, mengapa fake news begitu laku? Tanpa bermaksud membela para penyebar hoaks, barangkali hal ini terkait juga dengan kegagalan media massa menyesuaikan diri dengan selera generasi milenial serta memahami cara mereka mengonsumsi berita. Kalangan ini akan melahap sajian berita yang sesuai selera dari sumber yang tidak dipercaya. Para jurnalis terlambat memahaminya.
Sebuah riset Institut Teknologi Massachusetts (MIT), AS, menunjukkan fake news itu 70 kali dikicaukan ulang dibandingkan berita yang benar. Sementara berita benar paling banyak akan didiskusikan kembali oleh 1.600 orang. Sedangkan sebuah hoaks bisa menjadi isu yang di-retweet sehingga bisa dibaca oleh hampir 47.000 pengguna. Bandingkan perbedaan angka yang mencolok tersebut. Apalagi, masyarakat pada umumnya senang berbagi informasi. Dengan perkembangan teknologi digital yang penetrasinya hingga berbagai kalangan, peredaran informasi menjadi kian sulit terbendung.
Studi lain juga menunjukan bahwa fake news ditulis dengan ‘lebih apik dan menarik.’ Misalnya, hoaks yang beredar selama pilpres di AS yang berlangsung mulai 2016 hingga 2017, telah ditulis dengan jumlah paragraf yang lebih sedikit namun panjang, memuat banyak kata slang, umpatan, dan kalimat-kalimat efektif. Headline berita fake news berisi lebih banyak kata dan tanda baca serta disajikan dengan demonstratif, emosi, serta meminimalkan fakta yang bisa diverifikasi.
Di Indonesia, menjelang pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) serentak pada April mendatang kabar bohong atau hoaks pun semakin marak. Data di kepolisian memerlihatkan ada ribuan hoaks beredar di media sosial setiap hari. Bahkan hoaks diprediksi akan semakin banyak hingga masa pemungutan suara pada April 2019. Hoaks politik dipastikan akan semakin meningkat.
Menurut catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), sarana yang paling banyak digunakan untuk menyusun hoaks adalah narasi dan foto (50,43%), narasi (26,96%), narasi dan video (14,78%), dan foto (4,35%). Dari jumlah tersebut, hoaks paling banyak disebarkan di Facebook (47,83%), Twitter (12,17%), Whatsapp (11,74%), dan Youtube (7,83%).
Sepanjang 2018, banyak berita bohong bertebaran di media sosial. Komenterian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengidentifikasi 10 hoaks paling menggemparkan. Salah satunya adalah berita bohong penganiayaan seniman dan aktivis Ratna Sarumpaet oleh sekelompok orang yang beredar pada 2 Oktober 2018 di akun Facebook milik Swary Utami Dewi. Unggahan itu kemudian diviralkan melalui Twitter. Sejumlah tokoh politik bahkan membenarkan berita tersebut tanpa melakukan verifikasi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Tajukflores.com. Mari bergabung di Channel Telegram "Tajukflores.com", caranya klik link https://t.me/tajukflores, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Halaman : 1 2 Selanjutnya