Dalam teori feminisme, peran dan posisi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang hidup dalam budaya patriarki.
Budaya yang dibentuk dari kontruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama. Berangkat dari situ, perempuan akhirnya kerap diposisikan sebagai objek. Hal itu merupakan implikasi dari budaya yang menempatkan posisi sosial laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman, Tyas Retno Wulan mengatakan hal tersebut juga tercermin dalam pemberitaan kasus prostitusi daring.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Laki-laki dianggap wajar ketika berperilaku seks diluar `batas` kewajaran, atau berpetualang. Berbeda dengan perempuan, yang konstruksi seksualitasnya harus sesuai standar yang sudah ditentukan masyarakat. Ini yang membuat pelanggan laki-laki kurang diekspos karena dianggap wajar-wajar saja laki-laki berperilaku demikian. Itulah nilai ketiadakdilannya terhadap perempuan,” katanya.
Menurut Ketua Jurusan Sosiologi Fisip Unsoed tersebut, prostitusi daring yang merupakan transformasi dari praktik prostitusi yang usianya setua peradaban manusia itu sendiri merupakan mata rantai yang tidak hanya melibatkan perempuan. Namun karena budaya patriarki tadi, perempuan dikonstruksikan sebagai “second sex”, sebagai objek seks dan pada akhirnya terjadi ketimpangan gender.
Isu gender yang seringkali menjadi topik pada banyak diskursus ini merupakan hasil dari konstruksi sosial yang melekat pada relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Dan pemberitaan yang hanya mengekspos perempuan, menurut dia, menunjukkan adanya bias gender dan kurangnya perspektif gender.
Padahal, perspektif tersebut diperlukan, mengingat media merupakan agen sosialisasi relasi gender yang setara dan adil, yang seharusnya terus membangun kesadaran membentuk publik yang sensitif gender.
Perempuan sebagai Objek
Hal senada juga disampaikan oleh Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Edi Santoso. Menurut dia budaya patriarki yang ada di tengah masyarakat telah menempatkan laki-laki dalam posisi yang dominan. Misalnya saja, budaya patriarki telah merefleksikan ruang publik sebagai ruangnya laki-laki sehingga perempuan acapkali dianggap lebih pas di ruang-ruang domestik.
“Anggapan seperti itu tentu saja tidak mutlak atau statis. Karena pada kenyataannya ada perkembangan. Perempuan semakin ter-emansipasi, meskipun relasinya belum berimbang. Seolah ini masih dunianya laki-laki dan posisi perempuan adalah subordinat,” katanya.
Selain itu, budaya patriarki juga dinilai ikut berperan dalam membentuk frame pemberitaan media yang melibatkan perempuan, misalnya saja, dalam kasus prostitusi daring. Berbagai narasi hadir memberitakan kasus tersebut.
Halaman : 1 2 Selanjutnya