Saya beri komentar atas praktek demokrasi kita yang dalam beberapa hal mengenyampingkan faktor kecerdasan publik sebagai basisnya. Soal demokrasi berbasis kecerdasan tampaknya masih merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan.
Dalam praktek politik di era liberalisme ini, praktek demokrasi malah seringkali mengeksploitasi kebodohan atau bahkan mengembangkan suasana kebodohan sehingga banyak orang terdidik mendadak bodoh dan sukarela mempertontonkan kebodohan mereka di ruang publik.
Padahal dalam suatu lingkungan peradaban yang rasional, kebodohan, kalau pun masih dimiliki, seharusnya disembunyikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Contoh paling telanjang adalah semangat mengikutkan orang gila sebagai pemilih dengan alasan hak warga negara. Saya kaget bahwa ini justru diprakarsai oleh negara (KPU). Kalau orang sakit biasa dan orang di penjara (sepanjang tidak dicabut hak pilihnya) didaftar dan dibantu agar dapat menggunakan hak pilihnya itu masih bisa diterima akal. Tapi orang gila gimana?
Apa KPU lupa bahwa “memilih” itu pakai pertimbangan untuk menentukan sikap diantara beberapa pilihan yg tersedia? Memilih dalam konteks demokrasi secara normalnya mempertimbangkan kepribadian calon, program yang ditawarkan dan ideologi partai pengusungnya. Itulah proses rational choice.
Demokrasi adalah sebuah peradaban, bukan permainan. Maka syarat berdemokrasi mengharuskan tersedianya tingkat kecerdasan dan kesejahteraan tertentu. Terjemahannya adalah pendidikan yang cukup, kesadaran rasional atas realitas yang dihadapi, kesejahteraan minimal dan lingkungan kebebasan sosial-politik yang memungkinkan terjaminnya keamanan publik bagi setiap orang untuk mengekspressikan sikap dan pandangannya atas sesuatu isu atau sesuatu realitas.
Maka, bagaimana kita meletakkan kebijakan “membantu” seseorang yang jiwanya terganggu alias gila dalam mengeksekusi hak kebebasan itu dalam pemilu? Bukankah logika warganegara dalam menentukan pilihannya harus berbasis pemahaman atas hal-hal yang saya sebutkan diatas?
Halaman : 1 2 Selanjutnya