Tingginya penderita stunting atau tubuh pendek di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), membangkitkan semangat aktivis kemanusiaan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) untuk menekan angka stunting.
Upaya pencegahan yang dilakukan yaitu program Voice for Change Partnership (V4CP) sektor Food and Nutrition Security (FNS). Program ini bekerja sama dengan SNV, sebuah lembaga pembangunan pemerintah Belanda.
“Kami bekerjasama dengan pemda melalui dinas kesehatan, untuk melakukan advokasi gempur stunting di setiap desa,” ujar Direktur YPPS Flores Timur, Melki Koli Baran, Sabtu (20/7/2019).
Stunting pada balita bertubuh pendek dipengaruhi oleh asupan gizi. Ini dapat diketahui dengan angka berat dan tinggi bayi di bawah normal. Secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya.
Untuk mencegah stunting, lanjut Melki, ibu harus memperhatikan asupan gizi sejak masa kehamilan. Yaitu dengan mengonsumsi makanan yang banyak mengandung yodium.
Dari total 250 desa/kelurahan di Flores Timur, sebanyak 36 desa masuk kategori zona merah yang rawan stunting.
Di tahun 2016, data stunting di Flores Timur cukup tinggi. Sekitar 36 persen bayi dan balita terkena stunting dari 20.000 bayi dan balita. Pada 2017, angka stunting di NTT mencapai 41 persen.
“Di kabupaten Flotim mencapai 44 persen dari angka nasional 37,7 persen. Terutama di desa di Kecamatan Adonara Barat yang lebih tinggi,” ujarnya.
Tingginya angka stunting harus digempur dengan aksi nyata. Penanganannya harus menjadi sebuah gerakan, perlu ada wadah bergerak dengan mempromosikan makanan lokal untuk perbaikan gizi.
Halaman : 1 2 Selanjutnya