Pilkada Kabupaten Manggarai 2020 sudah di depan mata. “Hasrat politik” parpol tampaknya sudah saling bermain mata seperti “tatapan Jaka Tarub” (istilah Goenawan Muhamad).
Ada yang membalas dengan senyum, ada pula yang membuang muka. Takarannya bukan soal chemistry politik atau ideologis, tetapi soal forcasting politik kekuasaan.
Semua itu diperbincangkan dalam sangkar politik praktis. Pilkada itu selain urusan bonum commune (aspek long run), ada pula urusan pragmatis Laswellian (aspek short run): who gets what, when and how”. Itu bisa dalam politik Pilkada. Sebab semua ingin ambil dalam kompetisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Atas konteks itu, angin politik di pusaran Pilkada Manggarai 2020 tampak masih belum bergemuruh. Belum ada tanda-tanda terbentuknya kubu-kubu politik baru. Semua seakan sedang asik menikmati angin politik yang berpilin di ruang tamu petahana.
Tak heran bila publik banyak membaca proposal politik anonim yang berseliweran di medsos. Isinya, pecah kongsi politik Deno Kamelus-Viktor Madur (paket DM). Proposal itu genit memang, semacam ada usaha untuk memegang “tongkat Musa” lalu memisahkan dua politisi petahana.
Itu berarti isu politik perpecahan petahana Paket DM adalah elitis. Isu itu muncul dari kubu calon lawan politik. Logika politiknya begitu. Sebab, posisi petahana masih dianggap “seng ada lawan” dalam matematika politik. Perpecahan petahana dipersepsikan sebagai pergantian kekuasaan.
Tidak hanya isu perpecahan, ruang tamu petahana juga mulai diramaikan berita-berita tak sedap. Berbagai tuduhan miring dimainkan untuk melucuti citra petahana. Persepsi ketakbecusan pemerintah daerah diarahkan ke muka bupati Deno Kamelus. Tentu ada political framing yang terbungkus dalam setiap pemberitaan. Ujungnya, Pilkada Manggarai 2020. Semua itu biasa dalam politik.
Bulan-bulan politik Pilkada adalah “wulang ngoel “: momen semua orang menjadi expertise dalam politik. Apa saja dimunculkan untuk kepentingan politik Pilkada. Bisa jadi, ada “regresi” politik masa lampau yang dipakai sebagai amunisi agresi politik Pilkada. Tuduhan, stereotipe, identitas primordial, trauma, dll dianggap menjadi bumbu penyedap politik Pilkada.
Riak selalu datang dari mereka yang memilih jalan oposisi dan apostasi (apostacy). Itulah politik berdemokrasi.
Petahana pun tampak rileks dalam berpolitik. Reaksi politiknya pun terukur. Tak larut dalam air keruh jelang Pilkada. Bupati dan Wakil Bupati Manggarai tampak lebih senang melayani masyarakat tinimbang mengurai soal politik Pilkada.
Halaman : 1 2 Selanjutnya