Baru-baru ini, Kabupaten Manggarai mendapat apresiasi oleh KemenDes PDTT Republik Indonesia. Kabupaten Manggarai dinilai berhasil keluar dari predikat Kabupaten Tertinggal berdasarkan Surat Keputusan Menteri Nomor 79/2019.
Dengan SK tersebut pemerintah Kabupaten Manggarai semakin siap menatap masa depan pembangunan yang lebih baik. Tetapi, predikat itu menjadi semacam ancaman bagi segelintir politisi.
Persisnya, predikat tak lagi sebagai “Kabupaten Tertinggal” membuat beberapa politisi Manggarai tidak nyaman secara politik. Seperti sedang kebakaran jenggot. Bahkan, saking tidak percayanya, ada politisi yang secara gamblang meminta pemerintah Kabupaten Manggarai untuk mengklarifikasi soal predikat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bukan itu saja, ada yang masih nostalgis dengan periode pemerintahan yang sudah kedaluwarsa. Itulah politisi kita, miskin apresiasi tetapi kaya cibiran dan kritikan. Mungkin Pilkada sudah dekat.
Cibiran dan kritik adalah momentum oposisi. Itu tanda bahwa ada usaha merebut kekuasaan. Logika politiknya, kesuksesan pembangunan dinilai sebagai ancaman politik. Mengapresiasi kerja pemerintah berarti mengakui keunggulan “calon” lawan politik.
Psikologi Politik
Dalam kamus Merriam-Webster, apresiasi didefinisikan sebagai pertama, “a feeling of great approval and liking”. Kedua, acknowledgment of having received something good from another”.
Singkatnya, apresiasi itu bersinggungan dengan pengakuan (recognition).
Seseorang yang mengaku dirinya hebat, akan susah mengapresiasi orang lain. Seseorang yang merasa diri berpengaruh, akan susah mengakui kelebihan orang lain.
Dalam psikologi, orang itu disebut mengidap sakit mental megalomania.
Dalam dunia politik, figur-figur politik (politisi) sakit mental seperti itu banyak dijumpai. Deteksinya mudah. Megalomania ada pada politisi yang pre-power syndrome dan post-power syndrome. Pre-power syndrome adalah seseorang yang merasa berkuasa meskipun belum berkuasa. Post-power syndrome adalah seseorang yang masih merasa berkuasa meskipun sudah pensiun dari kekuasaan.
Politisi yang pre-power syndrome adalah mereka yang kalah dalam kontestasi politik. Mereka tidak pernah menang dalam politik pemilihan (Pilkada/Pemilu). Uniknya, mereka masih merasa hebat dan serba benar dalam politik. Politisi ini akan mengambil posisi oposisi kepada pemerintah. Yang dibuat hanyalah kritik.
Apa pun yang dilakukan pemerintah akan dikritik dan dinilai kerliru. Tujuannya cuma satu, melemahkan legitimasi politik pemimpin politik (:pemerintah). Dikatakan demikian, karena tak pernah akan ada apresiasi dari kelompok politisi pre-power syndrome.
Tidak jauh berbeda dengan itu, politisi post-power syndrome juga demikian. Nyaris pemerintah tidak ada yang benar di lensa politik politisi ini. Ia selalu membandingkan kebijakan politik-nya yang dulu dengan pemerintah sekarang. Jika kebijakan pemerintah saat ini berhasil, ia pasti mengklaim itu bagian dari keberhasilannya yang dulu. Atau, keberhasilan pemerintah saat ini bukanlah keberhasilan yang genuine, karena itu sudah dirasakan dalam pemerintahannya yang dulu. Begitulah klaimnya.
Halaman : 1 2 Selanjutnya