Dua isu yang sedang mengapung sekaligus mengepung ketenangan masyarakat Indonesia hari-hari ini ialah pertama, riuhnya tarik-tambang politik antara Pemerintah dan Forum Pembela Islam (FPI). Isu ini memang terasa agak sangar, horor, lantaran memilin emosi keagamaan yang diserai (digoreng) dalam wajan politik, tepatnya membentuk gelombang emosi sosial dengan intrik-intrik keagamaan.
FPI hadir sebagai antagonis pemerintah. Posisi oposisi itulah yang menguntungkan mereka. Sampai kapan pun dan pemerintah siapapun FPI tampil sebagai rival. Ideologi Khilafah ditenteng sebagai “dagangan” di kepalan tangan untuk menimpuk pemerintah.
Kedua, masih inheren dengan isu di atas ialah pernyataan biduanita kondang kelas Holliwood Agnez Monica yang mengaku tidak punya darah Indonesia. Warganet sontak tersedak oleh pernyataan Mo. Kala diwawancarai Build Series by Yahoo di Amerika beberapa waktu lalu, Agnez Mo mengatakan, I don`t have Indonesian blood whatsoever (aku tidak punya darah Indonesia).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Potongan pernyataan ini menjadi belati yang digunakan netizen untuk menghujam perasaan dan pikiran Mo. Media sosial terus menggemburkan keadaan dengan menghamburkan isu identitas. Agnes Mo dikutuk dan ditimpuk oleh warganet (netizen) dari berbagai penjuru mata angin, dari rakyat kecil di gubuk-gubuk hingga Fadli Zon dan Moeldoko datu penjaga istana. Terasa hujan batu di negeri sendiri, hujan emas di negeri orang. Inilah pepatah yang relevan buat biduanita amtenar yang sedang memetik bintang (keberhasilan).
Teks dan Bimbingan Situasi
Mengapa ucapan Agnez Mo begitu menghebohkan persis lidah petir yang menjilat jidat setiap netizen? Tentu Anda mempunyai pendapat tentang hal ini. Selain pendapat Anda, saya sekadar menambahkan, pertama, potongan wawancara Mo, “aku tidak punya darah Indonesia” merupakan teks (percakapan wawancara) dimaknai dalam bimbingan situasi terkini.
Masyarakat kita sedang sensitif dan lebay dengan politik identitas (keagamaan). Sensitivitas keagamaan begitu akut memagut perasaan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, situasi sosial Indonesia masih dalam sekam politik identitas yang terus ditiupkan oleh kelompok tertentu.
Dengan demikian, label identitas dan ras memberikan intensitas pada apapun yang dilakukan oleh tokoh atau figur publik seperti Agnez Mo.
Pemaknaan potongan percakapan “aku tidak punya darah Indonesia” tanpa menghubungkan dengan keseluruhan wacana mengimplikasikan makna bahwa Agnez mencundangi negaranya. Ia dianggap si Malin Kundang (yang melupakan ibu kandungnya).
Pemaknaan model ini cenderung diproduksi oleh cara berpikir reduktif akibat tekanan situasi atau kuasa situasi. Atau sengaja dipelintir untuk menggalaukan emosi sosial. Media sosial tipikal memelintir kalimat, frasa, kata untuk tujuan tertentu. Padahal, dalam studi teks (wacana), sebuah kalimat hanya mendapat pengertian yang penuh apabila dikaitkan minimal tiga hal.
Pertama, satuan teks urutan kata yang membentuk kalimat yang merangsang pengertian tertentu. Kedua, konteks keseluruhan kalimat yang bertautan satu dengan yang lain sehingga membentuk pengertian yang utuh. Ketiga, konteks nonteks (lingkungan di luar teks), latar situasi saat teks itu dimunculkan (baca Michael Faocoult, Norman Fairclough, Teun van Djik).
Ketika Agnez Mo mengatakan, saya tidak punya darah Indonesia, dikaitkan dengan satuan teks berikutnya, "Sebenarnya saya tidak punya darah Indonesia sama sekali. Saya sebenarnya keturunan Jerman, Jepang, China, saya hanya lahir di Indonesia. Dan saya juga seorang Kristen yang mana di Indonesia mayoritasnya adalah Muslim. Namun, selalu ada perasaan bahwa saya tidak seperti yang lain. Dan saya pikir itu sungguh mengajarkan saya bagaimana merangkul hal tersebut."
Halaman : 1 2 Selanjutnya