Kabut hitam memayungi langit Penfui dan sekitarnya. Saya meminta Rely, sopir taxi yang saya tumpangi, untuk melecut kendaraannya lebih cepat dari biasanya. Setiba di pintu masuk bandara, rintik-rintik hujan pun menetesi bumi. Perlahan. Tapi, tak berapa lama, rintik-rintik itu seperti tersapu angin. Lenyap. Langit kembali cerah.
Saya tiba pukul 11.10. Kawan-kawan seperjalanan, Aditya, Desi, Maya, Primus dan Yanto telah menunggu. Janjian tepat pukul 11.00 bergabung di titik kumpul depan pelataran ruang keberangkatan. Sementara Guido on the way seperti tersiar di Group Whatsapp. Tepat pukul 11.20 Guido tiba dan kami berombongan segera masuk ruang check in.
Karena barang bawaan banyak, teman-teman harus menggunakan trolley. Suasana di ruang cek ini tak sepadat biasanya. Agak lengang. Begitu pula antrian di loket Transnusa. Yanto, Guido, Maya, Aditya, dan Desi mampir sebentar di jasa layanan wrapping bagasi untuk membungkus dokumen soal assessment demi keamanannya. Saya dan Primus berdiri tak jauh dari loket.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Check in selesai. Kami masuk ruang tunggu. Suasana ruang tunggu tak berbeda jauh di ruang check in. Lapang. Beberapa bangku kosong. Kami menunggu sejam. Pukul 12.30 belum ada tanda-tanda calling dari operator yang menyampaikan informasi boarding. Kami tetap menunggu. Jam berapapun fly, asalkan Transnusa mencium landasan Turelelo pada hari itu pula.
Dinding kaca ruang tunggu tertutup. Pandangan tak dapat menembus landasaan pesawat. Saat ini bandara Eltari sedang dalam tahap renovasi dan pengembangan. Mengusir rasa jenuh, kami memilih untuk ngobrol sembari mencumbu android masing-masing.
Ditunggu sekian lama, calling operator menyapa telinga kami. Penumpang diminta segera menuju pesawat, sesaat lagi Transnusa berangkat. Saya dan kawan-kawan kebetulan duduk tak jauh dari pintu keluar Gate 4 melangkah duluan. Disambut panas menyengat ubun-ubun. Genangan air tersisa di pelataran bandara mengisyaratkan hujan baru saja redah. Kami terus melangkah menuju pesawat.
Semua kursi pesawat terisi pada penerbangan. Tak sampai 15 menit, pesawat pun angkat bannya dari bandara Eltari. Terbang melintasi Laut Sawu dan memotong pulau Flores dari sisi timur Gunung Ebulobo sebelum mendarat di Turelelo.
Penjemput dari Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten Manggarai, Kraeng Verer dan Ronny sudah menunggu, terbaca SMS dan panggilan tak terjawab yang masuk ke nomor saya. Saya bergegas menghubungi dan mengabarkan kami sedang menuju ruang tunggu.
Perjalanan ke kota dingin Ruteng dilanjutkan sore itu. Waktu tempuh diperkirakan mencapai 3-4 jam. Tapi lambung kami mulai perih dan tak bisa kompromi lagi. Sesampai di kota Bajawa, kami bersepakat mampir di salah satu rumah makan. Kraeng Ronny langsung membelok mobil ke restaurant Camelia. Tak terduga, rekan-rekan dari BKD, Ma Sofi, Juan dan Melky, yang sedang bertugas di Ngada, lagi makan siang. Kami pun reuni ‘dadakan’ di kota kabut ini.
Kami tinggalkan kota Bajawa tepat jam 16.00. Melintasi jalur spiral Kaju Ala yang dikenal ekstrem. Karena jalannya mulus dan lebih lebar dari keadaan yang doeloe, kami pun menikmati perjalanan dengan lebih santai dan tak terpasung mabuk darat.
Kala sampai di Kampung Sita disambut kabut yang menyengat. Udara dingin pun tak terbendung. Gelap menakutkan. Pikiran kami menerawang dan kiranya segera berlabuh di kota Ruteng.
Kami tiba pukul 20.00. Bapak Penjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai, Drs. Angkat Anglus, M.Si, dan panitia lokal (BKPP), ibu Dian, Elsy dan kawan-kawan sudah menunggu di Kantor Bupati. Ini sudah disepakati dengan ibu Dian sebelum kedatangan kami. Hadir pula mantan Bupati Manggarai, Bapak Anton Bagul sebagai salah satu anggota Panitia Seleksi (Pansel).
Kedatangan kami Kantor Bupati selain untuk memantau persiapan ruang ujian pula untuk mencapai kesepahaman dengan Tim Pansel. Karena kehadiran Tim Assessment Center Provinsi NTT dalam rangka membantu Pansel dari aspek penilaian kompetensi manajerial.
Pertemuan malam itu cukup cair meskipun suasana kota Ruteng yang dingin menembusi sum-sum. Apalagi Bapak Anton selalu melempar cerita jenaka yang mencair kebekuan cuaca. Saya teringat dengan guyonannya, usai tanya asal-usul kami.
“Jodoh itu, kalau bukan di sini, ya, disana. Kalau bukan di sana, ya, di situ.”
Kami semua serentak tertawa ibarat menu pembuka sebelum santap malam bersama. Usai pertemuan dilanjutkan dengan makan malam kemudian kami dihantar ke Hotel Victory, tempat kami menginap selama sepekan lebih kedepan.
Halaman : 1 2 Selanjutnya