Diskusi tentang Rueng merupakan ide atau gagasan yang cukup menarik untuk disimak secara mendalam serta secara tidak langsung ingin mengajak masyarakat Manggarai merefleksikan kembali cerita tentang Rueng dalam legenda Manggarai.
Diskusi tentang Rueng merupakan bentuk komitmen bersama dalam rangka menghadirkan sesuatu yang positif bagi warga Manggarai di tanah perantauan maupun yang menetap di Manggarai.
Cerita tentang Rueng tentu saja bermuara pada legenda Loke Nggerang. Konon katanya Loke Nggerang merupakan legenda yang mengisahkan kehidupan seorang gadis cantik dari daerah Manggarai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jaman dulu gadis hidup di sebuah dusun kecil bernama Ndoso. Secara biologis Nggerang merupakan hasil dari perkawinan silang resmi antara manusia dengan mahluk halus dari alam lain, dalam bahasa setempat dinamakan kakartana atau darat (bidadari) atau juga disebut ata pele sina.
Ayah Nggerang bernama Awang dan Ibunya bernama Hendang. Hendang berasal dari alam lain. Putri Nggerang ditinggalkan Ibunya semasa dia masih balita.
Ayahnya meninggal dunia sebagai akibat melanggar pantangan sebanyak tiga kali. Kisah ini terjadi ketika Hendang pergi menimba air, sementara Nggerang pada waktu itu masih bayi dijaga dan digendong ayahya.
Hendang memberi pesan kepada Awang suaminya “jika anak ini menangis jangan mendendang lagu “ipung setiwu, pake sewae, teu sa ambong neka woleng jaong, muku ca pu neka woleng curup.”
Namun ketika Hendang sedang pergi menimba air yang jaraknya cukup jauh dari rumah Nggerang pun menangis, kemudian Awang berupaya menghentikan tangisan Nggerang dengan mendendangkan lagu yang sama tadi sebanyak tiga kali, namun tidak membuat putrinya berhenti menangis.
Pelanggaran tetap saja didendangkan Awang sebanyak tiga kali. Kendatipun sudah dingatkan berkali-kali oleh Hendang namun Awang masih juga melanggarnya akhirnya perpisahan pun terjadi.
Hendang ibunda putri Nggerang pergi meninggalkan kedua orang terkasihnya Awang suaminya serta Nggerang anaknya di Dusun Ndoso.
Hendang berpesan agar Nggerang yang merupakan buah cinta mereka agar dijaga suaminya. Mendengar pesan tersebut, Awang diam membisu dan tak berdaya. Seketika itu Hendang berubah wujud menjadi seekor nepa atau ular, lalu dia pergi meninggalkan Dusun Ndoso untuk selamanya.
Sepeninggal ibunya, putri Nggerang diasuh empat saudaranya yaitu; satu laki-laki, dan tiga wanita yang merupakan anak dari istri pertama bernama ayahnya yang bernama Tana. Ayahnya beristri dua yaitu Hendang yang berasal dari alam lain dan Tana merupakan manusia biasa.
Raja Bima, saat itu selalu melihat cahanya yang terpancar ke langit yang berasal dari daerah Manggarai.
Cahanya tersebut sesungguhnya berasal dari kulit emas putri Nggerang yang tumbuh pada punggung bagian atas, berbentuk bulat dan besarnya seukuran bulatan mata uang logam.
Sultan Bima pun segera mengutus seorang abdi kerajaan bersama beberapa orang prajurit kerajaan ke Manggarai guna melacak keberadaan cahaya tersebut.
Ternyata cahaya itu dimiliki seorang putri dan masih remaja bernama Nggerang. Dalam perkembangan selanjutnya Sultan Bimapun mempersiapkan diri untuk berangkat ke Manggarai, tepatnya di Dusun Ndoso untuk meminang Nggerang.
Namun sangat disayangkan, ketika Sultan Bima menyampaikan isi hatinya, putri Nggerang menolaknya.
Raja Bimapun sakit hati dan menaruh dendam kepada Nggerang. Raja Bima kemudian mengancam dengan mengirimkan magic ke Dusun Ndoso. Seluruh Dusun Ndoso diselimuti awan tebal kehitam-hitaman.
Fenomena inipun hingga saat ini masih dikenal dengan sebutan rewung taki tana. Ancaman demi ancaman tak gubris putri Nggerang hingga akhirnya raja Bima tak sabar lagi membunuh putri Nggerang.
Saat itu sebagai kesultanan Bima berkuasa atas tanah Manggarai. Kulit perut Nggerang dijadikan gendang yang disimpan di Ndoso Manggarai Barat, sementara satu lagi disimpan di rumah adat Todo kecamatan Satar Mese Kabupaten Manggarai.
Bargaining Position Rueng dan Orang Manggarai Masa Kini
Meskipun cerita Rueng dalam Legenda Manggarai tidak bersifat kontekstual, akan tetapi cerita tersebut tetap dianggap masih berelevan dengan konteks kekinian. Dimana pengalaman perubahan sosial yang terjadi di Manggarai, sesungguhnya merupakan kombinasi antara aspek input dan output.
Generasi Manggarai saat ini merupakan produk dari nilai tradisi cerita tentang Rueng yang terjadi pada masa silam.
Hingga kini cerita tentang Rueng dalam legenda Manggarai selalu menjadi sesuatu yang menarik serta menjadi fokus perhatian bersama orang Manggarai yang hendaknya hal itu tetap dipertahankan dan dilestarikan secara konsisten dan berkesinambungan.
Bertitik tolak dari hal tersebut secara sosial, putri Nggerang memiliki bargaining position (posisi tawar) yaitu posisi yang dapat memungkinkan seseorang untuk dapat berpengaruh dalam kelompoknya.
Halaman : 1 2 Selanjutnya