Peristiwa konflik antarwarga memperebutkan lahan terjadi di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebabkan enam orang tewas, pada Kamis (5/3).
Kapolres Flores Timur, AKBP Deny Abrahams mengatakan, bentrokan terjadi akibat sengketa tanah antara dua suku di Desa Sandosi.
Diketahui, enam warga tewas itu yakni Moses Kopong Keda (80), Jak Masan Sanga (70), Yosep Ola Tokan (56), Seran Raden (56), Wilem Kewasa Ola (80), dan Yosep Helu Wua (80).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mereka yang meninggal ini tinggal satu desa,” ungkap Deny, Kamis (5/3) malam melansir Kompas.com.
Ia menjelaskan, Wilem Kewasa Ola dan Yosep Helu Wua, berasal dari suku Lamatokan.
Sedangkan Moses Kopong Keda, Jak Masan Sanga, Yosep Ola Tokan, dan Seran Raden, berasal dari Suku Kwaelaga.
Insiden ini berawal dari bentrokan antardua suku besar di Sandosi itu pecah karena masalah sengketa lahan di Kebun Wulen Wata di dekat Pantai Bani, Sandosi.
Awalnya, dua warga suku tersebut menempati wilayah berbeda, Suku Lamatokan berada di Sandosi 2 dan Suku Kwaelaga di Sandosi I.
Dua wilayah itu kemudian digabung menjadi satu desa, yakni Desa Sandosi.
Deny mengungkapkan, aksi saling klaim lokasi sengketa di Kebun Wulen Wata itu telah berlangsung selama puluhan tahun.
Lahan sengketa itu, kata Deny, selama ini digarap oleh empat suku, Suku Lamatokan, Suku Making, Suku Lewokeda, dan Suku Wuwur.
Tapi, Suku Kwaelaga kerap menebang tanaman di lahan sengketa itu. Tindakan itu dilakukan Suku Kwaelaga karena merasa wilayah itu milik mereka.
Warga empat suku yang menggarap lahan itu tak pernah merespons tindakan itu. Mereka berupaya menempuh jalan damai dan melaporkan tindakan itu kepada pemerintah kecamatan dan Polsek Adonara.
“Permasalahan lahan ini sudah berlangsung sejak tahun 1980. Sudah berulang kali dimediasi oleh pemerintah daerah dan polisi, tetapi tidak ada titik temu,” terang Deny.
Halaman : 1 2 Selanjutnya