Para mahasiswa dan pemuda asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar demo serentak di Jakarta dan Kupang pada Senin (29/6) sebagai respons atas rencana penambangan dan pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur.
Di Jakarta, aksi mereka digelar di bawah koordinasi Forum Pemuda NTT Jabodetabek. Mereka mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sementara di Kupang, aksi dipimpin oleh Aliansi Mahasiswa Manggarai Raya (AMMARA) Kupang ini. Dalam aksi ini, mereka mendatangi kantor Gubernur NTT dan Kantor DPRD DPRD NTT.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam tuntutannya, mereka meminta pemerintah membatalkan rencana memberi izin bagi PT Istindo Mitra Manggarai (PT IMM) untuk menambang batu gamping dan PT Semen Singa Merah NTT (PT SSM) yang akan mendirikan pabrik semen. Keduanya rencana beroperasi di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur.
Saat ini, PT IMM sudah mendapat IUP Eksplorasi untuk area seluas 599 hektar yang berlokasi di Kampung Lengko Lolok dan PT SSM dilaporkan sudah memperoleh izin lokasi di Kampung Luwuk.
Dalam aksi di Jakarta, mereka membawa sejumlah spanduk yang berisi desakan agar pemerintah tidak mamaksakan tambang bagi Pulau Flores, mengingat daerah itu rawan krisis air dan lokasi izin merupakan wilayah karst. Beberapa di antaranya berisi tulisan, “Tolak Tambag di Bumi Matim & Flores,” dan “NTT Butuh Pangan dan Air, Bukan Tambang dan Pabrik Semen.”
Ada juga yang membawa spanduk bertulis, “Kutuk JP” yang merujuk pada janji palsu pemerintah provinsi NTT untuk tidak membuka keran bagi investasi tambang.
Ira Sarimin, kordinator aksi di Jakarta mengingatkan, jika operasi penambangan batu gamping ini tetap dilaksanakan, yang terjadi adalah marginalisasi masyarakat dan kerusakan lingkungam. Selain itu, kata dia, adalah terjadi degradasi sosial-budaya.
Yohanes G. Ndahur, Jendral Lapangan mengingatkan bahwa wilayah izin tambang itu merupakan satu-satunya ekoregion perbukitan karst di Pulau Fores.
“Apalagi kawasan itu telah disahkan oleh Keputusan Menteri LHK pada 2018 tentang penetapan wilayah ekoregion Indonesia,” katanya.
“Wilayah karst ini menjadi regulator air yang menyediakan suplai air bersih bagi daerah sekitarnya yang memberikan penghidupan bagi ribuan komunitas di belahan barat Pulau Flores,,” tambahnya.
Sementara itu, di Kupang, Alvino A Latu, koordinator lapangan aksi mengatakan, mereka menuntut agar Gubernur Victor Bungtilu Laiskodat memiliki sikap jelas dalam agenda pembangunan di NTT dan tidak terus-menerus berubah sikap serta membohongi publik.
Ia mencontohkan, dalam kunjungan ke Manggarai Raya pada pekan lalu, Gubernur menekankan bahwa pembangunan di NTT mengandalkan potensi pertanian, kelautan, peternakan dan pariwisata.
“Ketika berbicara di hadapan para tokoh agama yang ia tahu menolak rencana tambang dan pabrik semen ini, gubernur sama sekali tidak menyebut tambang sebagai sektor yang menjadi andalannya. Tetapi di tempat lain, hanya dalam hitungan jam, kata-katanya kemudian berubah, di mana ia menyatakan mendukung tambang,” kata Alvino.
Ia menambahkan, ketikdakonsistenan Laiskodat juga tampak dari bagaimana ia dengan mudah melupakan janji-janjinya ketika kampanye pemilihan gubernur dan saat dilantik. Setelah itu, ia pun sempat menerbitkan SK moratorium bagi izin tambang.
“Ia mengatakan dalam janji-janji politiknya tidak akan menjadikan NTT sebagai daerah untuk tambang. Tapi, itu ternyata hanya pemanis bibir untuk meraih dukungan politik. Setelah menang, ia dengan mudah melupakan semua itu. Ia telah membohongi publik NTT,” katanya.
“Kami butuh pemimpin yang memikirkan tidak saja NTT hari ini, tetapi juga NTT ke depan. Tambang hanya membawa kehancuran untuk masa depan kehidupan dan alam NTT,” katanya.
Sementara itu, kepada DPRD NTT, kata dia, mereka menuntut agar memaksimalkan peran mereka untuk menyuarakan aspirasi rakyat.
“Sejauh ini, hanya segelintir anggota dewan yang menyuarakan persoalan ini, sementara yang lainnya masih memilih tidak peduli,” kata Alviano.
Ia mengajak anggota DRPD NTT untuk sama-sama mengawal janji-janji Laiskodat.
“Sebagai penyambung lidah masyarakat, anggota DPRD mesti mengingatkan gubernur untuk konsisten pada janji-janjinya,” kata Alvino.
Adeodatur Syukur, Ketua AMMARA mengatakan, di wilayah izin tambang dan pabrik itu merupakan perkampungan dan lahan-lahan pertanian yang telah bertahun-tahun menghidupi warga.
Halaman : 1 2 Selanjutnya