Gadis langit tak ingin menitik air mata, melihat pejalan menyusuri kesunyian. Di lorong waktu tak ada lagi desah atau gema, tak ada senyum atau rinai tawa.
Tapi pejalan melihat dia berkerudung putih. Senyumnya menghanyut kalbu.
“Aku tetap di sini, ada di sampingmu,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pejalan menarik secarik kertas. Mulutnya tak bisa mengucapkan bahasa langit. Pun tak ada kata yang ingin ditulis menjadi sebuah anak kalimat. Pejalan hanya menatapnya. Di sana ada rasa itu, rasa yang sama, rasa yang pernah dititipnya. Dan mungkin, pejalan coba menerka-nerka, rasa itulah yang tetap dibawanya.
Mereka berdiri di persimpangan. Ada bentang yang jauh. Bukan jarak yang selama ini biasa ditempuh. Jarak itu bahkan pernah mendekat tapi kemudian seperti larik senja antara malam dan siang.
“Aku hanya ingin melihat apakah di sini ada sungai. Aku ingin merasa apakah di sini ada udara. Apakah ada awan atau langit. Karena dari sana aku penasaran, kamu sedang apa di sini. Atau kamu telah bahagia?” desah pejalan.
“Di sini tak ada lagi cemburu atau kesal, tak lagi ada rasa penasaran. Di sini hanya ada syair yang kami nyanyikan setiap saat. Syair indah yang tak dimiliki penulis sepertimu,” katanya seraya melangkah. Dia seperti dekat.
“Apakah kita telah berpisah?” gugat pejalan.
“Tanya hatimu yang selalu bertanya-tanya dulu,” jawabnya.
“Karena kau hanya menitip senyum yang tak mampu kutepis,” kata pejalan.
Halaman : 1 2 Selanjutnya