Mata Pisau
mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
(Sapardi Djoko Damono).
Marilah kita menikmati puisi “Mata Pisau” karya penyair Sapardi Djoko Damono. Sapardi dikenal sebagai penyair serius yang mengandalkan kekuatan kata-kata dalam membangun puisi-puisinya. Sehari-harinya sebagai dosen (guru besar) bidang sastra di FIB Universitas Indonesia.
Puisi ini saya kutip dari buku kumpulan puisi lengkap Sapardi berjudul Hujan Bulan Juni (cetakan ke-7, Maret 2016, halaman 53). Puisi ini ditulis tahun 1971, dimuat pertama kali dalam buku kumpulan puisi Sapardi berjudul Mata Pisau (1974).
Puisi ini sangat sederhana. Disusun dalam satu bait, terdiri atas enam baris/larik. Kalau dihitung, jumlah kata dipakai penyair hanya 32 kata, semuanya ditulis dengan huruf kecil, semuanya juga mudah dimengerti. Ditambah dua kata pada judul, totalnya menjadi 34 kata. Kalau kita cermati penggunaan tanda baca, yakni tanda baca titik koma (;), puisi ini sebetulnya hanya terdiri atas tiga bagian, yang dipisahkan dengan tanda titik koma.
Bagian (1) //mata pisau itu tak berkejab menatapmu//, bagian (2) //kau yang baru saja mengasahnya berpikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam//, bagian (3) //ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu//.
Setiap kita sebagai pembaca tentu memiliki penafsiran atas puisi pendek ini. Mungkin di antara kita ada penafsiran yang sama, mungkin mirip, mungkin pula berbeda. Semua itu sah saja, karena hakikat puisi bersifat multi tafsir, multi interpretasi. Bahkan menurut teori persepsi yang dikembangkan Wilhelm Wundt (1832-1920) dan teori resepsi yang dikembangkan Hans Robert Jauss (19211997) di mana kedua teori ini bersumber pada pendekatan pragmatik seturut kerangka teoretikus sastra M. H. Abrams, makna puisi hanya bisa ditentukan oleh persepsi dan resepsi pembaca. Sepuluh orang pembaca sebuah puisi, bisa jadi menghasilkan sepuluh penafsiran. Makin banyak penafsiran, makin baiklah puisi itu.
Halaman : 1 2 Selanjutnya