Jumlah kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi semakin meningkat. Berdasarkan data per Desember 2018, KPK telah menangani 101 kasus korupsi walikota/bupati dan wakil walikota/bupati. Sejak tahun 2017, angka korupsi kepala daerah semakin meningkat dan puncaknya di tahun 2018, sebanyak 30 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Salah satu terdakwa kepala daerah mengakui hasil korupsi digunakan untuk mendanai kegiatan partai. Hal ini tercantum pada berkas putusan Rita Widyasari selaku Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara, mengakui bahwa gratifikasi 2 miliar digunakan untuk kegiatan partai.
Fakta persidangan lainnya mengungkapkan bahwa uang suap yang diterima, diduga untuk membiayai pemenangan anaknya sebagai Bupati, “Uang suap yang diterima anggota komisi IX DPR, Amin Santono diduga untuk membiayai pemenangan anaknya sebagai Bupati Kuningan Jawa Barat”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus lainnya adalah menjerat mantan Bupati Kabupaten Malang dua periode Rendra Kresna (RK). Ia ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk perkara suap sarana penunjang mutu pendidikan pada Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Malang anggaran tahun 2011.
Rendra disangkakan menerima suap sekitar Rp 3,45 miliar dari Ali Murtopo. Rendra bersama mantan tim suksesnya pada pilkada 2010 mengatur proses lelang dan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement).
KPK membeberkan bahwa Rendra bersama tim suksesnya pada pilkada 2010 sebelumnya sudah pernah melakukan pertemuan membahas dana kampanye mengikutsertakan Ali Murtopo.
Fakta-fakta tersebut menyiratkan bahwa pemilihan kepala daerah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sementara kemampuan harta kandidat tidak mencukupi. Sehingga kandidat akan mengusahakan dana tambahan dengan mencari bantuan biaya untuk menambah kekurangan dana yang diperlukan. Persentase dana tambahan bahkan mencapai 50% dari dana total pencalonan (Wibowo, 2013).
Dana tambahan berasal dari keluarga, perusahaan ataupun partai. Sumbangan dengan komitmen tertentu menimbulkan benturan kepentingan setelah terpilih sebagai kepala daerah. Proyek pada APBD akan menjadi kompensasi dukungan biaya politik yang telah dikeluarkan pemilik modal terhadap calon kepala daerah terpilih (Usman, 2015).
Umumnya pemberian sumbangan bertujuan ekonomi, yaitu untuk menikmati jaminan birokrasi dan mempengaruhi politik sehingga akan berpengaruh pada peningkatan keuntungan yang lebih besar bagi si pemberi sumbangan.
Besarnya biaya pilkada yang besar, tidak sejalan dengan kemampuan kekayaan pasangan calon. Sehingga para pasangan calon membutuhkan dana tambahan untuk menambah kekurangan dana yang diperlukan dari para penyumbang atau pemilik modal.
Jika melihat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 16 Tahun 2019, tahapan pencalonan perseorangan akan dimulai pada 16 Februari 2020. Menyusul pendaftaran dari partai politik dan/atau gabungan partai politik di bulan Juni. Tahapan ini dinilai cukup rawan terjadinya gratifikasi atau suap yang dilakukan oleh kandidat pasangan calon, penyelenggara pemilu dan partai politik.
Dalam Pasal 187 B UU Pilkada jelas menyebutkan bahwa anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling tiga ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.
Halaman : 1 2 Selanjutnya