Perang global melawan terorisme telah menewaskan banyak teroris, tetapi tidak ideologinya.
Selain paham lokal yang bersumber dari NII dan perpecahannya, JAD, JI dan sejenisnya, ada juga kolaborasi NII dan paham impor yaitu salafi, salafi ikhwani dan salafi-jihadi, ternyata masih punya banyak pengikut dan juru bicara di Indonesia.
Semua paham yang disebut di atas adalah takfiri atau mengkafirkan orang lain di luar kelompoknya dan anti budaya kearifan lokal. Ini merupakan bibit dan cikal bakal terorisme di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam sistem demokrasi, mereka bebas dan dijamin undang-undang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat, termasuk mengadakan kajian keagamaan di masyarakat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum dapat menjerat orang atau sekelompok yang baru mendengungkan paham radikalisme.
Padahal, para pelaku propaganda itu juga berperan penting buat memberi semangat pengikutnya melakukan aksi teror, yang bisa ditindak oleh aparat adalah orang atau kelompok yang sudah melakukan tindakan terorisme.
Jadi, orang atau kelompok yang hanya mengkampanyekan negara Islam atau khilafah belum bisa ditindak dengan pasal terorisme. Kecuali mereka yang sudah bergabung dalam kelompok dengan berbaiat dan melakukan latihan untuk persiapan terorisme, itu bisa ditindak dengan preventif strike atau pencegahan keras. Jadi, sebelum melakukan aksi mereka sudah bisa ditangkap aparat.
Secara garis besar, kelompok radikal atas nama agama di Indonesia baik yang latar belakangnya NII, salafi dan salafi jihadi mereka bersaing mencari anggota di Indonesia dengan cara masing masing.
Salafi menginduk kepada doktrin Wahhabi dan pendapat duo ulama pro Kerajaan Arab Saudi—Bin Baz dan Nashirudin al-Albani.
Kajian mereka membahas ‘syirik kubur’ dan anti-bid’ah. Mereka apolitis, tidak menyentuh wilayah ‘syirik undang-undang’ atau demokrasi. Ini bisa dimengerti karena kiblat mereka adalah Arab Saudi yang berbentuk kerajaan.
Ada Salafi-Ikhwani yang menginduk kepada al-Ikhwan al-Muslimun (IM) Mesir yang didirikan Hasan al-Banna. Dari rahim IM inilah lahir paham salafi-jihadi.
Di Indonesia, Ikhwanul Muslimin dibawa oleh seorang putra komandan NII atau Panglima militer DI TII Danu Muhamad Hasan yiatu Hilmi Aminudin yang belajar ke Mesir dan akhirnya dikembangkan menjelma menjadi partai politik PK dan sekarang menjadi PKS.
Di Saudi, Ikhwanul Muslimin ditetapkan sebagai gerakan teroris. UEA juga menetapkan IM sebagai teroris termasuk negara asal IM yaitu Mesir menetapkan sebegai teroris, bahkan 50 ulama IM masuk dalam daftar teroris.
Sementara di Indonesia, IM masih bebas dan bahkan menjadi salah satu partai peserta pemilu, tokoh agamanya pun bebas menyampaikan pahamnya atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat. Mereka menguasai beberapa kampus dan masjid masjid pemerintahan.
Fokus gerakannya IM bukan hanya anti-bid’ah dan ‘syirik kubur,’ tetapi juga syirik demokrasi dan undang-undang. Mereka menyerang demokrasi dan memurtadkan pemimpin muslim yang berhenti memperjuangkan syariat Islam atau khilafah.
Bagi kelompok ini, seluruh kebijakan pemerintah akan dianggap salah dan mereka selalu kampayekan dalam propaganda di forum forum termasuk media sosial.
Paham salafi dan salafi-jihadi di Indonesia punya panggung untuk mentransfer paham dan keyakinannya melalui pengajian tertutup dan terbuka, bahkan diunggah ke media sosial untuk diikuti siapa saja. Mereka juga menyebarkan pahamnya dengan mencetak jutaan buku gratis yang disebarkan meluas dimasyarakat.
Seluruh doktrin salafi jihadi dalam semua variannya bisa dilacak bersumber dari IM Mesir yang kemudian pecah menjadi banyak faksi. Di dalam kelompok salafi dan salafi-jihadi banyak turunan dan pecahan, masing-masing bahkan juga saling mengkafirkan di antara mereka.
Halaman : 1 2 Selanjutnya