Lembaga Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta kepolisian tidak mengambil kesempatan mencari popularitas dalam memproses perkara dugaan penghinaan terhadap Palestina melalui aplikasi TikTok. Menurut ICJR, permohonan maaf dan adanya perbaikan perilaku dari pelaku cukup untuk memberikan edukasi, tidak perlu eksesif.
“Aparat tidak perlu mengambil kesempatan seolah melakukan hal yang baik dengan memproses kasus ini, padahal yang perlu dilakukan adalah mengedukasikan MS, HL dan publik,” kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulis yang diterima Tajukflores.com, Rabu (19/5).
Maidina mengatakan terdapat dua kasus dimana pihak kepolisian berperan menyelesaikan perkara unggahan video yang dinilai menghina Palestina. Pertama, polisi menahan seorang petugas kebersihan berinisial HL (23) di Lombok, Nusa Tenggara Barat sejak 17 Mei 2021, yang mengunggah konten bernuansa penghinaan terhadap Palestina di media sosial TikTok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada kasus kedua, pihak kepolisian berperan dalam penyelesaian kasus serupa yang dilakukan oleh MS, seorang siswi SMA di salah satu Kabupaten Bengkulu Tengah (Benteng), bersama dengan Dinas Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng menghasilkan keputusan pengeluaran MS dari sekolahnya pada 18 Mei 2021.
Maidina menegaskan, dalam kedua kasus tersebut, HL dan MS bukan merupakan pihak-pihak yang secara sengaja memiliki maksud untuk mengujarkan kebencian pada golongan tertentu. Baik HL dan MS dengan profil yang melekat pada keduanya adalah pihak-pihak yang pada dasarnya tidak memiliki pemahaman mempuni tentang isu okupasi Israel atas Palestina.
“Unggahan dilakukan atas dasar reaksi ketidaktahuan dan ketidakbijakan menggunakan media sosial. Pun berdasarkan analisis normatif, pasal mengenai ujaran kebencian dalam UU ITE tidak dapat digunakan atas kasus ini,” jelasnya.
Atas hal ini, kata Maidina, respon yang perlu diberikan adalah dengan edukasi, bukan hukuman yang justru memberikan dampak yang lebih buruk ataupun kriminalisasi berlebihan bahkan penahanan yang tidak diperlukan. Dalam kasus MS yang masih merupakan seorang pelajar, tidak perlu dikeluarkan dari sekolah yang akan memberi stigma baru dan memberikan resiko terhambatnya akses pendidikan bagi MS.
Halaman : 1 2 Selanjutnya