Polemik proyek geothermal Wae Sano di wilayah Kecamatan Sanonggoang, Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) masih terus berlanjut.
Baru-baru ini, kelompok yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng melakukan demonstrasi di depan Kantor Bupati Manggarai Barat, terkait adanya proyek energi panas bumi tersebut.
Dalam aksi tersebut, PMKRI bersama warga masyarakat Wae Sano, menyatakan menolak proyek geothermal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua PMKRI Ruteng, Nardianus Nandeng menegaskan, penolakan dilakukan karena pihaknya melihat bahwa proyek ini tidak akan mendatangkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat setempat.
Selain itu, alasan penting lainnya ialah proyek tersebut hanya akan merusak keutuhan ekologi di wilayah tersebut dan akan mengancam masa depan warga yang ada di sekitarnya.
“Penolakan warga itu dilandasi dengan alasan yang jelas, yakni keselamatan ruang hidup warga dan masa depan anak cucu,” ujar Nandeng pada Rabu (2/2).
“Rencana penambangan panas bumi yang persis berhimpitan dengan pemukiman dan rumah adat, sumber air, lahan pertanian/perkebunan, fasilitas publik seperti sekolah dan gereja, itu tentu saja membawa ancaman besar bagi warga,” demikian Nandeng melanjutkan.
Warga Pernah Layangkan Protes ke Presiden
Penolakan terhadap adanya proyek geothermal ini memang sudah sangat lama dilakukan oleh warga masyarakat Wae Sano.
Bahkan pada 17 Juni 2021 lalu, mereka menyampaikan sikap penolakannya itu melalui surat terbuka yang ditunjukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam surat terbuka tersebut, ada beberapa pertimbangan yang mereka sampaikan kepada Presiden Jokowi terkait sikap penolakannya itu.
Pertama ialah soal potensi kehancuran ekologi di wilayah tersebut. Meski proyek ini berpotensi dapat meningkatkan rasio elektrifikasi di wilayah Pulau Flores, proyek geothermal tersebut sangat mengancam kehidupan warga dari kampung yang berada di sekitar lokasi proyek.
Ancaman tersebut sangat potensial akan terjadi. Sebab, keberadaan dari titik bor dan lokasi-lokasi instalasi proyek, seperti instalasi pembuangan limbah, sangat dekat dengan pemukiman dan fasilitas publik-warga.
Berdasarkan catatan atau data yang diperoleh dari laporan Haryanto & Supriatma pada 17 April 2020 lalu, diketahui sumur pengeboran di Kampung Lempe hanya berjarak 300 meter dari pemukiman warga dan hanya 20 meter dari sumber mata air
Sementara itu, di Kampung Nunang hanya berjarak 30 meter dari `Mbaru Gendang` (rumah adat), kemudian di Kampung Dasak berjarak hanya sekitar 25 meter dari fasilitas sekolah dan pemukiman warga.
Selain ancaman tersebut, hal lain yang menjadi pertimbangan warga sehingga menolak proyek tersebut ialah soal aktivitas ekstraktifnya yang dinilai akan berdampak destruktif bagi berbagai macam tatanan masyarakat baik soal tatanan ekonomi, sosial-ekologi, maupun tatanan kultural.
Seperti diketahui, warga lokal yang berada di sekitar Wae Sano memiliki relasi yang sakral dengan alam sekitarnya, baik secara individu maupun secara komunal. Kehidupan mereka dianggap sebagai bagian integral dari alam di sekitarnya. Karena itu, jika alamnya dieksploitasi, hal tersebut juga mengancam integrasi hidup mereka sendiri.
Diklaim Tidak Akan Merusak Lingkungan
Halaman : 1 2 Selanjutnya