Jakarta, Tajukflores.com - Pendiri SMRC Prof. Saiful Mujani menyebut figur calon presiden lebih kuat dibanding partai politik di Provinsi Jawa Barat. Hal itu disampaikan Saiful saat lembaganya merilis survei perihal `Peta Pertarungan Politik di Jawa Barat` via kanal YouTube SMRC TV pada Kamis (7/9).
Saiful menjelaskan bahwa sebagai provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak, Jawa Barat juga unik dilihat dari pluralitas dukungan pada partai yang sangat tinggi. Hampir semua partai punya suara di Jawa Barat.
Di provinsi ini, Golkar, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, dan Gerindra pernah menjadi pemenang Pemilu. PKS dan sejumlah partai lain juga mendapat dukungan yang signifikan. Dalam 20 sampai 25 tahun terakhir swing voters di Jawa Barat sangat tinggi.
"Dilihat dari dukungan pada partai, pemilih di Jawa Barat sangat cair," katanya.
Baca Juga: Soal Mega-Prabowo Kepergok Duduk Bareng, Habiburokhman: PDIP Cinta Pertama Gerindra
Saiful menyampaikan bahwa dalam survei SMRC dua tahun terakhir (2021-2023), PDI Perjuangan secara umum unggul walaupun fluktuatif. Namun dalam tiga atau empat bulan terakhir, Gerindra menguat. Dalam survei terakhir, 31 Juli – 11 Agustus 2023, PDI Perjuangan mendapatkan suara 19,3 persen; Gerindra 16,8 persen; dan PKS 13,8 persen.
Selisih antara PDI Perjuangan dengan Gerindra tidak terlalu besar. Saiful menjelaskan bahwa penguatan Gerindra di Jawa Barat ini berkaitan dengan menguatnya dukungan pada Prabowo Subianto secara nasional. Sementara basis utama Prabowo dan Gerindra adalah di Jawa Barat. Selain PDI Perjuangan dan Gerindra, survei ini juga menemukan PKS cukup konsisten stabil bahkan makin menguat, dari 8,1 persen pada Maret 2021 menjadi 13,8 persen pada Juli-Agustus 2023.
Di tengah pluralitas dukungan pada partai, dalam dua kali pemilihan presiden, Joko Widodo selalu kalah oleh Prabowo Subianto dengan selisih yang cukup signifikan. Menurut Saiful, pemilih Jawa Barat belum bisa menerima Jokowi.
"Walaupun Jokowi dalam lima tahun pertama sudah menjalankan pemerintahan dengan program-programnya yang baik, itu tidak membuat pemilih di Jawa Barat berubah sikapnya, tetap saja tidak mau memilih Jokowi," ungkap dia.
Saiful menjelaskan bahwa biasanya kecenderungan pemilih untuk memilih incumbent cukup tinggi. Untuk kasus Jawa Barat, pola umum tersebut tidak terjadi. Jokowi dianggap sukses dengan approval rating (tingkat kepuasan publik pada kinerja) sangat tinggi secara nasional, namun di Jawa Barat tidak. Ini, menurut Saiful, unik.
Pada pemilihan presiden kedua (2019) yang mempertemukan Jokowi dan Prabowo, pemilih Jawa Barat tetap memilih Prabowo, walaupun pada pemilihan sebelumnya (2014) Prabowo kalah secara nasional.
"Mestinya pemilih pindah karena sebelumnya mendukung calon yang kalah. Tapi di Jawa Barat tidak terjadi. Jawa Barat konsisten mendukung Prabowo," ungkapnya.
Yang menyebabkan ini terjadi, kata Saiful, bukan karena partainya. Partai, menurut dia, lebih sebagai suprastruktur, sementara infrastrukturnya adalah pemilih. Apa yang terjadi pada partai tergantung pada pemilih. Karena itu, munculnya keragaman partai di Jawa Barat adalah cerminan dari realitas pemilih di Jawa Barat itu sendiri.
"Bukan karena partainya banyak kemudian pilihan warganya jadi banyak. Namun yang terjadi adalah karena beragamnya pemilih, maka muncul partai. Setiap ada partai baru, warga Jawa Barat memberi kesempatan untuk mendapatkan suara. Ini yang menyebabkan terjadinya polarisasi kekuatan partai politik di Jawa Barat. Ini berbeda, misalnya, dengan Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, partai yang bertarung sedikit, karena PDI Perjuangan sangat dominan. Di Bali juga seperti itu," jelas penulis buku Muslim Demokrat tersebut.
Penulis | : | Tim Tajuk Flores |
Editor | : | Alex K |