Parang yang disarungkan bakal calon bupati Manggarai Deno Kamelus saat deklarasi Pilkada 2020 menjadi sorotan publik. Ternyata ada makna di baliknya.

Advokat sekaligus praktisi hukum asal Manggarai di Jakarta, Edi Hardum mengatakan, parang yang disarungkan Deno Kamelus dalam acara tersebut sudah lazim dalam adat Manggarai. Menurut dia, orang yang menyindir Deno-Madur justru tak paham budaya Manggarai.

“Orang menyindir Deno Kamelus memakai parang saat kampanye adalah orang yang belum memahami Budaya Manggarai! Mari belajar!,” kata Edi Hardum dalam postingan di laman Facebooknya, Senin (7/9 malam.

Menurut Edi, parang yang diikat di pinggang seorang lelaki Manggarai sudah terjadi sejak zaman kedaluan. Diketahui, dalu merupakan sistem pemerintahan terapan Kesultanan Bima yang terkait dengan penarikan pajak berupa budak (pajak taki mendi).

“Dulu dan sebagian masih terjadi sampai sekarang di Kedaluan Nggalak, Kedaluan Rego, Kedaluan Pasat, Kedaluan Ruis dan Kedaluan Cibal, dan saya yakin di kedaluan lain juga di Manggarai sebagian orang tua (lelaki) ketika menghadiri sebuah acara penting adat pasti membawa parang atau keris yang disarung yang diikat di pinggang,” jelasnya.

Edi pun membeberkan maknanya. Pertama ialah bentuk sikap siap bertanggung jawab atas semua keputusan adat. Kedua, siap mengambil risiko adat. Ketiga, siap membantu kalau dibutuhkan. Keempat, siap melawan atau membela kalau dirugikan, direndahkan. Kelima, siap memimpin, dan keenam, siap memberi teladan.

Begitu pula ketika seseorang diangkat menjadi tu`a golo, tu`a gendang, atau dalu, menurut Edi, biasanya pasek sapu (pakai destar). Dalam budaya Manggarai, kata Edi, dikenal ungkapan “tengge lipa songke dan selek kope”. Nah, ketika diangkat menjadi pemimpin adat maka janjinya demikian “eme manga buru warat ata pande watang pangga ma’u te le gharat lagu ta’ang; eme mangga buru pote te pande kose le kope le laku doet.”

“Artinya, kalau ada yang ada coba-coba merintangi usaha dalam memimpin maka saya akan lawan dengan parang atau keris saya. Atau pemimpin itu diasosiasikan sebagai penuntun jalan paling depan. Makanya kata-kata pemberi semangatnya demikian, “mai ga, o laku kope ata sako karot agu weang halang/salang: mari jalan bersama saya, ini parang yang saya pakai untuk menebang duri di jalanan,” jelas Edi Hardum.

Edi mengatakan bahwa apa yang dilakukan Deno Kamelus ketika kampanye di Ruteng beberapa hari lalu merupakan sebuah penghayatan budaya.

“Artinya ia siap menjadi pemimpin, siap menjadi bupati. Semua rintangan dan tantangan ke depan ia akan lewati atau hadapi,” kata dia.

Edi menambahkan, penggunaan simbol adat dalam kampanye sebenarnya bisa dilakukan oleh semua calon kepala daerah di wilayah Manggarai. “Saya pikir, Hery Nabit atau calon-calon bupati di Mabar juga juga tidak salah kalau pakai parang atau keris di pinggang ketika kampanye, karena itulah adalah budaya Manggarai, menjunjung tinggi adat istiadat Manggarai,” pungkasnya.

Sebelumnya, deklarasi bakal calon bupati dan wakil bupati Manggarai, Deno Kamelus dan Victor Madur (Deno-Madur) berlangsung meriah pada Minggu (6/9). Hampir seluruh penjuru Kota Ruteng dipenuhi massa simpatisan dan pendukung.

Sebelum deklarasi berlangsung, pagi tadi Deno-Madur menggelar ritus “Selek Kope” di Compang Dalo, Kecamatan Ruteng. Acara kemudian bergeser ke di rumah adat Mena, Kelurahan Wali, Kecamatan Langke Rembong, tempat Deno-Madur menggelar deklarasi.

Di rumah adat Mena, Deno-Madur kembali menggelar ritus “Wuat Wa`i. Setelah deklarasi, Deno-Madur dan pimpinan tiga parpol akan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Manggarai.

Redaksi

Tetap Terhubung Dengan Kami:
WA Channel Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.