Presiden Jokowi menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengatasi pandemi Covid-19. Keputusan ini didasarkan pada status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat virus corona Covid-19 yang telah ditetapkan.

Kebijakan penerapan PSBB merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Selain itu, pemerintah juga akan menerbitkan meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dan keputusan presiden (keppres) penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat untuk melaksanakan amanat UU tersebut.

Dalam PP tersebut, yang dimaksud PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19. Pemerintah daerah pun dapat melakukan PSBB atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu.

Anggota Komisi IX DPR Melki Laka Lena mengatakan penerapan PSBB merupakan suatu langkah yang tepat dilakukan pemerintah saat ini. Menurutnya, kondisi darurat Covid-19 dapat ditanggulangi oleh PSBB tanpa harus melakukan karantina wilayah atau lockdown.

Melalui PSBB, pergerakan orang dibatasi, termasuk memberikan stimulus berupa bantuan sosial hingga Rp5 juta kepada pekerja formal, informal, maupun pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Bantuan Langsung Tunai (BLT) ini diberikan untuk mengurangi jumlah PHK dan dampak ekonomi yang memukul sektor informal akibat corona.

“Karena kelompok yang paling terpukul ialah mereka yang terkena langsung. Pasien sudah dapat diobati, mencegah kita lakukan sudah berbagai cara, isolasi, karantina, social distacing. Yang terkena di aspek di kelompk miskin melalui jaminan sosial, dan UMKM itu melalui stimulus. Karena kelompok menengah ke atas itu diasumsikan masih bisa bertahan dengan apa yang mereka miliki,” kata Melki saat berbincang dengan Tajukflores.com di Jakarta, Rabu (1/4).

Melki tak menampik jika penerapan social distancing masih longgar. Sifatnya pun masih sekedar imbauan. Menurutnya, hal itu dapat dicegah dengan memberikan sanksi tegas yang dimulai dari tingkat RT.

“Jadi ini bukan sekedar imbau tapi norma. Sehingga kalau jadi norma harus dibuat dari tingkat dari tingkat RT/RW, dan sanksinya harus tegas diatur. Jika persuasif tidak berjalan maka perlu tindakan hukum,” jelasnya.

Penyebaran virus corona di Indonesia kian melonjak. Sebanyak 1.285 orang dinyatakan positif menderita COVID-19 per Minggu (29/3), 114 orang di antaranya meninggal serta 64 lainnya berhasil sembuh.

Lebih dari separuh kasus itu terjadi di DKI Jakarta, yakni sebanyak 701 kasus yang menewaskan 67 orang. Lantaran tingginya angka penderita di ibu kota ini, wacana untuk melakukan lockdown atau karantina wilayah kian menguat.

Pembahasan mengenai opsi lockdown ini akan digelar di kantor Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) hari ini, Senin (30/3). Belum diketahui apakah pembahasan itu hanya berfokus pada wacana lockdown Jakarta saja atau malah lebih luas lagi.

Wacana mempertimbangkan lockdown ini bergulir lantaran banyaknya masyarakat yang justru memilih mudik lebih awal. Hal itu dikhawatirkan bakal memperluas penyebaran pandemi asal Wuhan, China tersebut.

Kepolisian telah menyiapkan skenario penutupan jalan masuk dan keluar Jakarta jika lockdown atau karantina wilayah diberlakukan. Hal itu tertuang dalam surat telegram yang dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya.

Sejumlah negara sudah menerapkan lockdwon, di antaranya Italia, Perancis, Denmarak dan India yang tidak berjalan mulus.

Melki sendiri tak setuju jika pemerintah menerapkan lockdown. Berkaca dari kegagalan Amerika Serikat dan India, menurutnya locdown hanya akan membuat negara dalam kesulitan yang semakin besar.

“Kenapa kita gak bicara locdown karena karakter kita berbeda-beda. Kita bicara lockdown dalam aspek kesehatan itu bisa, tapi juga kita bicara soal aspek sosial, politik dan ekonominya. Kalau kita lihat India dan AS, orang pergi jarah. Makanya Trump (Presiden AS Donald Trump) gak berani locdown,” katanya.