Militer Myanmar menggunakan senjata medan perang dan kekuatan mematikan dalam menumpas pengunjuk rasa terhadap kudeta bulan lalu, kata Amnesty International pada Kamis, (11/3), sebagaimana dilaporkan Reuters.

Kelompok hak asasi itu mengatakan telah membuktikan kebenaran lebih dari 50 video penumpasan itu, yang oleh Perserikatan Bangsa Bangsa dinyatakan bahwa pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 60 pengunjuk rasa.

Kelompok HAM itu mengatakan banyak pembunuhan yang didokumentasikan sama dengan eksekusi di luar hukum.

Reuters tidak dapat menghubungi juru bicara junta untuk dimintai komentar. Tentara mengatakan tanggapannya terhadap protes telah ditahan.

Junta mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari, menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan memicu protes harian di seluruh Myanmar yang terkadang menarik ratusan ribu orang turun ke jalan.

Amnesty menuduh tentara menggunakan senjata yang cocok untuk medan perang untuk membunuh pengunjuk rasa.

Amnesty mengatakan bahwa mereka berada di tangan unit-unit yang dituduh oleh kelompok hak asasi itu bertahun-tahun melakukan kekejaman terhadap kelompok etnis minoritas, termasuk Muslim Rohingya.

“Ini bukanlah tindakan kewalahan, petugas membuat keputusan buruk,” kata Joanne Mariner, Direktur Tanggapan Krisis di Amnesty International.

“Inilah para komandan yang tidak menyesal telah terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengerahkan pasukan dan metode pembunuhan di tempat terbuka.”

Amnesty mengatakan senjata yang digunakan termasuk senapan runduk dan senapan mesin ringan, serta senapan serbu dan senapan sub-mesin.

Amnesty menyerukan penghentian pembunuhan dan pembebasan tahanan. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan hampir 2.000 orang telah ditahan sejak kudeta.

Dalam membenarkan pengambilalihannya, tentara menyebut dugaan kecurangan dalam pemilihan November yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi. Tuduhannya telah dibantah oleh komisi pemilihan.