“Ia kuncup di tanah yang kering, mekar di atas bebatuan dan tumbuh di atas tanah basah. Ia begitu liar, tumbuh dimana-mana, tetapi moyangku mencintainya dan menjadi jiwa di dalam setiap syair.”
Wela Runus
Wela Runus, bunga yang selalu mekar di denyut nadiku. Tetapi aku begitu ragu, bagaimana wajah dan rupa bunga itu. Aku tak tahu bahasa Latinnya apa, seperti yang dilakukan para ilmuwan. Mereka memanggil bunga anggrek bulan Phalaenopsis Amabilis atau bunga kenanga, Cananga Odorata. Tumbuhan paku Pteridophyta atau melinjo dinamai Gnetum Gnemon.
Orang kampungku berkisah wela runus adalah wela runu. Wela Runu tumbuh liar di sepanjang jalan dan tebing-tebing menuju kampungku, Lingko Rewung. Aku sungguh-sungguh mengenalnya karena ia tumbuh begitu saja di alamku.
Wela Runu, begitu dalam sehingga tak terlupakan. Warna kelopaknya kemuning, dengan daun yang kecil, tidak ada wewangian semerbak seperti anggrek. Bentuknya kecil, mungil, akan tetapi seribu kumbangpun tak mampu mematahkannya.
Ia kuncup di tanah yang kering, mekar di atas bebatuan dan tumbuh di atas tanah basah. Ia begitu liar, tumbuh dimana-mana, tetapi moyangku mencintainya dan menjadi jiwa di dalam setiap syair.
Ah, aku sudah tak tahu lagi, mengapa leluhurku mencintai bunga-bunga liar itu. Sebab mereka tak pernah didomestiksasi oleh leluhurku meminjam istilah yang berat dari Yuval Noah Harari, profesor sejarah dari Universitas Ibrani Yerusalem itu. Tidak seperti bunga mawar, anggrek atau bunga melati yang di tanam di sekitar rumah. Tapi sungguh, leluhurku mencintai wela runus.
Dan lagi wela runus tidak hanya sebuah bunga yang kuncup. Aku pernah mendengar dongeng dari nenek-ku, Wela Runus adalah gadis jelita, kulitnya putih bersih seperti bidadari. Rambutnya ikal, panjang dan wangi. Bola matanya teduh dan menghisap siapapun.
“Semua laki-laki mencintainya dan pada akhirnya menjadi petaka,” begitu nenek-ku bertutur.
Tapi, di malam lain aku mendengar kakek-ku mendongeng. Aku pikir kisahnya akan berbeda karena kakek-ku adalah lelaki yang biasa mengisahkan pertempuran dan perlawanan serta pertualangan.
Aku berharap ia akan mengisahkan rampas (perang) Weol antara Nggaeng Cibal dan Adak Todo lagi. Dua kekuasaan purba di tanah Nuca Lale (Manggarai). Mengisahkan bagaimana pasukan-pasukan berkuda kedua kekuatan akan bertempur.
Tetapi tidak, kakek-ku mengisahkan yang sama. Ia mengisahkan sebuah kehalusan dan kelembutan. Dengan piawai ia mengisahkan Timung Tee yang hidup pada suatu zaman di Nuca Lale.
Timung Tee adalah gadis jelita, kulitnya putih bersih seperti bidadari. Rambutnya ikal, panjang dan wangi. Bola matanya teduh dan menghisap siapapun.
“Semua laki-laki mencintai Timung Tee dan pada akhirnya menjadi petaka,” begitu kakek-ku bertutur.
Di lain hari, nenek-ku kembali berkisah ia menuturkan tentang Helas, seorang perempuan lain lagi. Kisahnya hampir sama.
Helas adalah gadis jelita, kulitnya putih bersih seperti bidadari. Rambutnya ikal, panjang dan wangi. Bola matanya teduh dan menghisap siapapun.
“Semua laki-laki mencintai Helas dan pada akhirnya menjadi petaka,” begitu nenek-ku bertutur.
Sedangkan kakek juga mengisahkan perempuan yang sama Rueng dan di lain hari menyebutnya Loke Nggerang yang terlibat dengan kepentingan penguasa Todo dan Penguasa Bima.
Rueng atau Loke Nggerang adalah gadis jelita, kulitnya putih bersih seperti bidadari. Rambutnya ikal, panjang dan wangi. Bola matanya teduh dan menghisap siapapun.
“Semua laki-laki mencintai Rueng atau Loke Nggerang dan pada akhirnya menjadi petaka,” begitu kakek-ku bertutur.
Begitu panjang kisah-kisah itu, sperti serial Lord of the Ring, kisah Snow White atau Putri Salju, Perang Pandawa dan Kurawa di Pulau Jawa atau pertempuran Troya di Yunani. Bukan telenovela ecek-ecekan yang mengisahkan perselingkuhan dan merebut harta serta suami (pelakor) orang-orang zaman kini.
Tapi aku baru bertanya, kenapa perempuan-perempuan itu selalu menderita dan kecantikan mereka membawa malapetaka?
Ende Tanah
Suatu ketika aku sudah dewasa, aku bertemu pamanku di rumahnya yang sederhana. Aku memanggilnya Wela Ngkuang. Sebab dalam tarian heroik Caci lawan-nya sering mengenalnya Wela Ngkuang karena ia sering memberikan cambukan yang mematikan. Ia mengisahkan bagaimana ende tanah terluka.
Mengapa leluhur kita mewariskan labang cua? Ia memulai dengan pertanyaan yang retoris. Sedang aku terdiam saat ia mulai pertayaan itu.
Sembari menulis-nuliskan tangannya di tanah entah apa, ia mulai berkisah. Tanah adalah ibu bagi kita dan seluruh yang hidup di atasnya. Sebagai ibu ia memiliki rahim bahkan rahim itu sendiri.
Saat cua di tancap ke tanah, maka Ende Tanah, sang ibu terluka. Benih padi atau jagung akan dimasukan ke dalam luka itu. Sang Ayah, langit akan mengirimkan sperma air hujan dan embun, maka terjadilah kehidupan.
Labang Cua, adalah sebuah permohonan maaf, rekonsiliasi dan ucapan syukur kepada ende tanah yang telah dilukai dan dirobek-robek.
Ia kemudian mengambil tanah dan meletakan di telapaknya. Lihatlah, di dalam tanah ini ada kehidupan. Tak hanya ibu bumi yang dilukai tetapi juga berbagai kehidupan di dalamnya. Labang Cua adalah sebuah maaf, rekonsiliasi dan syukur atas pengorbanan makhluk-makhluk itu.
Aku terkesima begitu saja. Membiarkannya perlahan tercernah di pikiranku. Rumit dan sungguh-sungguh serumit itu untuk dipahami.
“Mengapa perempuan? Mengapa bumi itu perempuan? Mengapa ia selalu dikorbankan?” tanyaku lagi.
Molas Poco
Suatu senja di kala seorang penyair dan penyanyi mengolok-olok senja, aku tetap mencintainya dan terus bergumul padanya, senja. Saat itu orang-orang kampungku akan pulang dari ladang. Ketika langit memerah dan mentari perlahan tenggelam semua akan kembali ke rumah.
Lalu dalam sekelebat senja hilang dan datanglah malam, sementara aku duduk berhadap-hadapan dengan Tua Golo. Ia duduk dekat Siri Bongkok, tiang tengah penyanggah Mbaru Niang.
Saya memandangnya sembari mendengarkan petuah-petuah darinya. Ia menghisap gulingan tembakau. Tiba-tiba ia berhenti menatapku lalu berlahan berpaling pada Siri Bongkok.