Perjalanan kampanye Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno ke Nusa Tenggara Timur (NTT) pada beberapa hari yang lalu merupakan perjalanan yang “kontroversi”, “paradoksal” dan menjadi “kontraproduktif”. Hal itu bila dilihat dari aspek kepentingan pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Sandiaga Uno.
Alasannya, visi-misi yang melekat pada paslon Prabowo-Sandi berbeda dengan visi masyarakat NTT yang sangat toleran, menjaga pluralitas, harmonis dan berdampingan secara damai serta berkomitmen untuk keabadian Pancasila, NKRI, dan UUD 1945.
Safari politik Sandiaga ke NTT juga menjadi kontroversi, paradoksal dan sia-sia belaka karena ia bersama Capres Sandiaga Uno diusung oleh partai politik pendukung HTI.
Sikap politik nasional dari Partai Gerindra, PAN, PKS dan Partai Demokrat selama ini jelas mendukung keberadaan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Padahal, HTI sudah dinyatakan terlarang oleh pemerintah karena mengganti ideologi Pancasila dengan khilafah Islamiyah, sekaligus hendak membubarkan NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945.
Begitu juga dengan sikap politik para pengurus HTI dan FPI serta para tokoh yang tergabung dalam GNPF-MUI/GNPF-Ulama 212, secara penuh memberikan dukungan bagi pasangan Prabowo-Sandiaga, sehingga telah memberi stigma buruk sebagai pendukung radikalisme dan intoleransi.
Dengan demikian, kedatangan Sandiaga Uno ke NTT tidak memberikan nilai tambah apapun dalam pendidikan politik bagi para kader partai dan simpatisannya di NTT.
Dari sudut kepentingan strategis warga NTT, kedatangan Sandiaga Uno ke NTT juga tidak akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat NTT. Terlebih-lebih karena membawa agenda Tagar #2019GantiPresiden yang selama ini merupakan agenda dari kelompok HTI, FPI dll. Kelompok radikal dan intoleran ini, dalam aktivitas politik dan keormasannya berjuang untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi khilafah Islamiyah.
Di dalam UUD 45, ada tiga nomenklatur terkait kekuasaan pemerintahan negara mengenai kekuasaan presiden, yaitu Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung, Presiden dan Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya dan Presiden digantikan oleh Wakilnya.
Dengan demikian, tagar #2019GantiPresiden adalah inkonstitusional sebagai upaya makar terhadap kekuasaan Presiden Jokowi. Sebab, meskipun istilah “Ganti Presiden dikenal di dalam UUD 1945, namun persoalan “Ganti Presiden” itu adalah pergantian terhadap Presiden RI yang sedang berkuasa melalui mekanisme konstitusi yang sepenuhnya menjadi wewenang MPR RI, bukan pada akhir masa jabatan seorang presiden melalui proses Pemilu.