Jakarta – Para tokoh perwakilan agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia telah mendeklarasikan komitmen bersama untuk menjaga “bumi sebagai rumah kita bersama.”

Deklarasi ini merupakan respons terhadap krisis ekologi yang dipicu oleh eksploitasi industri ekstraktif, yang berdampak negatif pada masyarakat lokal dan hak-hak mereka.

Dalam dialog lintas iman bertema “Kemanusiaan dan Ekologi” yang berlangsung di Pura Aditya Rawamangun, Jakarta, tokoh-tokoh dari berbagai agama seperti Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan aliran kepercayaan Baha’i menyatakan komitmen mereka untuk melindungi bumi.

Dialog ini diinisiasi oleh Ordo Fratrum Minorum (Fransiskan) dan bertepatan dengan kunjungan pemimpin umum mereka, Pastor Massimo Fusarelli, OFM.

Para Fransiskan menyatakan bahwa dialog ini juga merupakan bagian dari persiapan kunjungan Paus Fransiskus bulan depan, dengan mendalami pesan penting dalam dokumen Laudato Si dan Fratelli Tutti, yang membahas tentang krisis ekologi dan dialog antaragama.

Dalam deklarasi bersama usai dialog, para tokoh menyatakan komitmen terhadap tujuh hal utama, termasuk “merawat bumi sebagai rumah bersama dengan mewujudkan gaya hidup hemat dan menghormati kesucian atau kesakralan alam.”

Mereka juga berkomitmen untuk “menciptakan lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan,” serta “memastikan hak-hak masyarakat adat dan generasi mendatang terpenuhi, kearifan lokal terpelihara, dan kesejahteraan bumi terjamin.”

Para tokoh ini juga menegaskan pentingnya “mengejawantahkan cara hidup yang didasarkan pada semangat persaudaraan di tengah keberagaman, menghormati dan menjunjung tinggi martabat pribadi manusia, terutama mereka yang dikecualikan atau disingkirkan,” serta “menegakkan keadilan ketika terjadi diskriminasi, korupsi, dan eksploitasi,” dan “mewartakan secara terus-menerus nilai-nilai perdamaian di tengah masyarakat luas.”

Selain Pastor Massimo Fusarelli, OFM, tokoh-tokoh yang mendeklarasikan komitmen ini antara lain Matias Filemon Hadiputro (Gereja Kristen Jawa), Nissa Wargadipura (Pesantren Ekologi Ath-Thaariq), Budhy Munawar-Rachman (tokoh Muslim moderat), Atthadhiro Thera (Sangha Theravāda Indonesia), JM I Wayan Gelgel (Pinandita Sanggraha Nusantara), Budi S. Tanuwibowo (Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia), dan Nasrin Astani (aktivis dialog lintas agama aliran kepercayaan Baha’i).

Komitmen ini dirumuskan setelah mendengar paparan dari Dini Pramita, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), yang mengulas masalah lingkungan di Indonesia akibat industri ekstraktif, serta Ahmad Maulana, aktivis sosial yang menangani komunitas marginal di bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta.

Dini Pramita menyoroti pola-pola pemiskinan yang disebabkan oleh proyek-proyek ekstraktif di Indonesia, yang merampas lahan warga setempat dan memaksa masyarakat hidup berdampingan dengan bencana, seperti yang terjadi di Kalimantan, Maluku, dan wilayah lainnya.

Ia mengkritik bahwa proyek-proyek tersebut sering kali dilakukan “atas nama pembangunan berkelanjutan, transisi energi, transisi bersih, dan transisi berkeadilan.”

Ahmad Maulana, dalam pemaparannya, menggambarkan lingkungan Jakarta yang “semakin tidak ramah lagi.” Ia menyoroti penurunan ruang terbuka hijau di Jakarta yang saat ini hanya mencapai sekitar 5% dari luas kota, jauh di bawah standar ideal 30%. Hal ini, menurutnya, membuat kualitas udara semakin buruk dan sungai-sungai tercemar menjadi hal yang biasa.

Tokoh Muslim, Budhy Munawar-Rachman, menekankan pentingnya peran agama-agama dalam mendorong konservasi lingkungan dan aksi iklim.

Dalam Islam, konsep khalifah menekankan bahwa manusia adalah penjaga bumi yang bertanggung jawab melindungi ciptaan Tuhan, sejalan dengan ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus.

Romo Yohanes Kristoforus Tara, dari divisi advokasi Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Fransiskan, menyatakan bahwa mereka telah menjalankan beberapa poin komitmen dalam upaya advokasi terhadap masalah pertambangan, geothermal, dan isu lingkungan lainnya.

Dialog ini juga merupakan bagian dari persiapan menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke Jakarta bulan depan, dengan tujuan memperkuat persaudaraan semesta dan meningkatkan kesadaran akan masalah ekologi sebagai masalah kemanusiaan.

Dengan komitmen bersama ini, para tokoh agama dan aliran kepercayaan bertekad memperkuat upaya menjaga bumi sebagai rumah bersama, serta mendorong perubahan konkret di kalangan umat masing-masing.