Pemunduran 17 pejabat pejabat pembuat komitmen (PPK) dan kelompok kerja di sejumlah proyek pemerintah di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur harus disikapi bijak Bupati Lembata Eliazer Yentji Sunur.

Sebab, pemunduran mereka tidak hanya berdampak terhadap kelanjutan pembangunan namun juga terkait kepercayaan publik kepada para penegakan hukum.

“Karena dikhawatirkan sikap mundur secara masal PPK akan bertambah terus dan berkembang ke Kabupaten lain di NTT,” kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus di Jakarta, Senin (9/3).

Diketahui, 17 PPK ini menemui Bupati Lembata Eliazer Yentji Sunur guna menyampaikan pengunduran diri sebagai PPK dan kelompok kerja di sejumlah proyek pemerintah pada Jumat (6/3) lalu. Mereka bekerja di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Perhubungan, dan organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya.

Alasan pertama mereka mengajukan pengunduran diri ialah karena sudah merasa tidak nyaman dalam mengendalikan kontrak berdasarkan pengalaman sebagai PPK pada tahun-tahun sebelumnya dan saat ini.

“Ini sebagai bentuk perlawanan terhadap praktek penegakan hukum yang menjadikan PPK sebagai mesin ATM atau oleh Presiden Jokowi menyebutnya dengan “menggigit pejabat dan pengusaha daerah yang sedang berinovasi mendukung agenda strategis bangsa,” tegas Petrus.

Menurut Petrus, adanya panggilan oleh polisi dan jaksa untuk perkara yang sama atas nama penegakan hukum bukan saja membingungkan, tetapi juga sangat mengganggu kohesivias kerja tim PPK dalam menjaga kesinambungan pembangunan di daerah.

“Para PPK dan OPD dalam bekerja sangat membutuhkan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum atas tugas dan tanggung jawab mereka dalam mewujudkan kelanjutan pembangunan dan agenda strategis bangsa di lingkungan Pemkab Lembata,” ujarnya.