Perubahan itu melekat pada substansi, artinya bersentuhan dengan materia dan forma. Persentuhan itu bisa pada hal yang esensial, bisa juga kontingensial.

Maka, ada empat macam perubahan. Pertama, change. Artinya yang berubah itu bukan materia dan forma. Bukan pada substansi, tetapi pada aspek luar yang mempengaruhi subtansi, pada hal-hal yang kontingensial sifatnya. Yakni, perubahan waktu, tempat, situasi dan kondisi, performa atau penampilan luaran, sekadar ganti baju, ganti kemasan, ganti bungkusan seperti jualan nasi bungkus saja. Jadi, Change hanya soal ganti ruang dan waktu. Yang lain sama saja seperi dulu lagi.

Kedua, reformasi. Yang berubah adalah formanya. Sementara itu materianya tetap sama. Kayu jati yang sebelumnya dijadikan papan rumah, diubah menjadi tongkat, kaki tempat tidur, kursi, meja, dan lain-lain. Yang berubah adalah bentuknya, susunannya, fungsinya, posisinya atau formasinya dari materia yang sama.

Ketiga, transformasi. Materianya tetap sama, tidak berubah, hanya formanya mengalami sublimasi hingga melebur menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali. Kayu jati berubah menjadi patung kuda, salib, kubah mesjid, patung tani, boneka kayu bahkan robot. Orang sampai melupakan kayu jati hanya karena bentuknya yang baru.

Apalagi jika kayu jati itu dibentuk untuk menjadi simbol, orang bahkan memberi penghormatan yang lebih padanya dan ditempatkan pada tempat yang terhormat. Kayu jati tidak lagi mewakili dirinya, tetapi mewakili nilai yang disimbolkannya. Kayu jati mengalami transformasi menjadi sesuatu yang dipuja dan disembah.

Keempat, transubstansiasi. Materia dan formanya berubah menjadi sesuatu yang baru sama sekali walaupun di dalam ruang dan waktu yang tidak berubah. Kalau ketiga perubahan di atas masih melekat pada kuasa manusiawi dan natural, perubahan transubstansiasi lebih supranatural yang kaya akan nilai transendental karena melibatkan iman dan spiritualitas. Seperti roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus. Wujud (materia) dan rupanya (forma) tetap sama, tetapi substansinya berubah. Bukan kuasa manusiawi, tetapi kuasa ilahilah yang bekerja aktif dan partisipatif.

Saat kampanye dalam musim pilkada, para calon acap kali mengumbar janji perubahan. Entah perubahan macam mana yang akan mereka lakukan. Bahkan ada calon yang berani mengatakan bahwa jalan menuju perubahan adalah ganti bupati. Artinya pemimpin daerahnya bukanlah orang yang sama, ya, dalam kaitan dengan pilkada berarti bupatinya jangan incumbent lagi.

Pertanyaannya: Apakah hanya sekadar ganti orang, ganti baju, ganti suasana atau juga ganti formasi, ganti susunan, atau bahkan memberi nilai lebih pada materia dan forma yang sama sampai orang melupakan orang, baju, materia yang ada di balik perubahan itu?