Pilkada mestinya tidak bertujuan mengganti pimpinan, atau sekadar ganti formasi atau dengan istilah kerennya Reformasi. Reformasi sebetulnya sudah merupakan awal yang baik, tetapi gagal karena materianya tidak (mau) ikut berubah. Orang yang sama atau orang lama masih bercokol di dalamnya meskipun formasinya sudah berubah.
Semestinya perubahan itu harus sampai pada level transformasi, sampai ada perubahan yang membuat banyak orang yang dipimpinnya mengalami kemuliaan dan daerahnya dihormati, dipuja dan dipuji karenanya.
Pilihlah kandidat yang demikian. Penandanya, dapat disidik dari sisi mens rea sang kandidat, apakah dia orangnya rela melupakan identitas diri, suku, agama, ras, dan egosentrisme lainnya demi perjuangan bagi kebaikan dan kemuliaan semua orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baca rekam jejaknya dengan jeli, simak secara kritis setiap orasinya, dan telusuri kebatinan sang kandidat dan tentukan pilihan anda pada kandidat yang transformatif dan partisipatif. Bukan pada kandidat yang rasis, bukan pula pada kandidat yang menyerahkan tanggung jawab pada rakyat dan partai pengusungnya karena itu sama artinya dia orangnya suka lepas tanggung jawab dan oportunis. Pemimpin yang rasis dan partisan kelak akan mengabdi pada rakyat dan partai pengusungnya. Hasil Pilkada seperti ini potensial sial!
Yang ditunggu itu kampanye dari seorang calon pemimpin yang transformatif, yang berani melakukan gerakan passing over, ganti pola lama, ganti orang lama yang tidak berkualitas. Dan idealnya, muncul pemimpin transformatif seperti Basuki T Purnama (Ahok), Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo dan Presiden Jokowi.
Oleh Yon Lesek, pengamat sosial tinggal di Jakarta
Halaman : 1 2