Suatu ketika, di acara televisi nasional, Rocky Gerung membuat quote yang menarik. Kata dia, “kalau ada dua orang bertemu, berarti ada orang ketiga yang hendak disingkirkan”. Itu quote politik, sebab menyinggung orang-orang yang berkecimpung dengan jatah kekuasaan.   

Manggarai tahun 2020, jatah kekuasaan siap diperebutkan lagi. Kalau omong soal petahana, dua orang politisi itu bertemu tiap hari untuk menjalankan tugas pemerintahan. Bupati Kamelus Deno dan Wakil Bupati Viktor Madur masih bersama-sama. Artinya belum ada “orang ketiga” di tengahnya. Masih dwi-tunggal, belum terdengar matahari kembar (setidaknya bersumber dari politisi an sich). 

Sebab tak ada matahari kembar, diciptakanlah bayangan matahari. Semacam isu (tombo koe) bahwa mereka akan berpisah. Amplifikasi isu itu ditinggkatkan sehingga menjadi seakan-akan kehendak masyarakat. Dibicarakan terus-menerus (di medsos), tetapi isinya nihil. 

Itu biasa dalam politik. Ribut-ribut mau Pilkada itu lumrah. Bukan “pesta” kalau tak ada ribut. Saling-silang isu, kritik bertubi-tubi, sumpah serapah, dan lain-lain menjadi kecap asin-manis politik. Sejauh orang tidak melepas pekerjaannya karena urus “politik”, itu baik-baik saja. 

Semua itu bukan sisi gelap demokrasi. Warga negara yang dewasa secara politik akan paham dan mampu memaknai dinamika Pilkada secara bijak. Tak usah “baper”, sebab politik berurusan dengan logika, bukan sentimen; politik itu juga soal kalkulasi jasa, bukan hanya nominal uang. Meskipun akhir semuanya ditentukan oleh kalkulasi kumulatif angka pemilih. 

Lalu, ributlah angka uang penyelenggaraan Pilkada. Di media, diberitakan, Pilkada Manggarai 2020 akan ditunda jika “proposal” KPU dan Bawaslu tidak diakomodasi oleh pemerintah daerah. KPU Manggarai mengusulkan angka sebesar Rp 29.027.000.000,-; Bawaslu Manggarai sebesar Rp 15.599.032.000,-. Publik juga belum tahu anggaran untuk pihak TNI/Polri. 

Jadi, harga yang harus “dibayar” untuk mendapatkan seorang bupati dan wakil bupati yang legitimate adalah circa Rp 44,6 miliar (belum ditambah anggaran TNI/Polri). 

Gertak penundaan Pilkada Manggarai 2020 bukan berarti KPU dan Bawaslu Manggarai sedang ngambek. Selisih soal angka anggaran Pilkada antara Pemda Manggarai dan Penyelenggara Pemilu menandakan KPU dan Bawaslu benar-benar independen. 

Pemda Manggarai pun tak ingin terkesan KPU dan Bawaslu Manggarai “dekat” dengan rezim berkuasa hanya karena mengiyakan semua proposal Penyelenggara itu. 

Hanya saja, perlu ada rasionalisasi atas setiap anggaran. Soal uang, semua pihak perlu bijak dalam penggunaan. Perbandingan dana Pilkada Manggarai 2015 perlu juga dijadikan semacam “jurisprudensi”. Semua itu demi rasa keadilan antara Pemerintah, Penyelenggara Pemilu dan rakyat. 
Toh, inflasi daerah tidak tinggi-tinggi amat. 

Ekonomi Indonesia pun masih stabil. Semua harga pun relatif normal dan tidak berbeda jauh dengan harga di lima tahun lalu. Jadi, rasio perbedaan anggaran Pilkada 2020 seharusnya tak berbeda jauh dengan Pilkada 2015 lalu. Biarkanlah masyarakat menikmati selisih anggaran itu pada infrastruktur dan pemberdayaan. 

Belum selesai soal gertak penundaan Pilkada 2020, para petani komoditi tak berdaya berada di lingkar seteru pengusaha pembeli komoditi dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Ruteng. Gara-gara pajak PPN 10%, pengusaha tutup toko. Pasalnya, mereka tak mau pajak PPN 10% berlaku surut. Disebutkan, kalau pajak PPN 10% berlaku surut, toko akan tutup. Artinya mereka merugi. Lebih rugi lagi petani, hasil keringat mereka tak ada yang beli.