Memang agak aneh apabila ada pengusaha tidak mau bayar pajak. Padahal, aturan soal Pajak PPN itu sudah ada sejak zaman Belanda. Agar sisa kolonial tak membekas, dibuatlah UU Darurat Tahun 1951. Tahun 1983 terbit UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN. Lalu direvisi dalam UU Nomor 42 Tahun 2009. Pengusaha seharusnya akrab dengan aturan-aturan pajak itu. Nah, pengusaha sudah pasti adalah subyek pajak.
Seorang pengusaha kena pajak (PKP) wajib bayar pajak. Jika ia sebagai wajib pajak tidak melaksanakan kewajibannya, akan ada sanski hukum. Sanksi diberikan atas laku kelupaan, pembangkangan dan kelalain wajib pajak itu sendiri. Oleh publik, wajib pajak yang tidak melakukan kewajibannya disebut pengemplang pajak, pembangkang, penggelap pajak, dll.
Agar tidak dicap demikian, pengusaha itu seharusnya pandai mengatur (manage) risiko (pajak). Demonstrasi apa pun tidak bisa membebaskan pengusaha kena pajak dari kewajibannya. Ia tetap harus bayar pajak. Kecuali ia sudah melalui Pengadilan Pajak dan menang. Kalau rugi akibat Pajak PPN 10%, itu adalah risiko yang ditanggung sendiri karena lemahnya kesadaran akan pajak.
Lalu, mengapa kisruh Pajak PPN 10% itu disangkut-pautkan dengan Pilkada Manggarai 2020? Tentu itu berhubungan dengan “ekonomi politik” lokal. Bahwa ada beban kerugian pengusaha telah mengorbankan petani hasil perkebunan. Ribun petani akan mengalami penurunan daya beli.
Pasar hasil (komoditas) perkebunan yang terperangkap oleh model oligopsoni (beberapa pembeli menguasai pasar komoditas) itu membuat kepercayaan masyarakat petani terhadap pengusaha itu semakin rendah.
Akibatnya, masyarakat mendesak pemerintah daerah mencari kebijakan yang solvable sebelum pertumbuhan ekonomi melemah. Pertumbuhan ekonomi daerah lemah sebagai akibat daya beli petani yang menurun bisa berdampak pada suburnya praktik money politics dalam proses Pemilu. Dengan daya beli yang lemah, masyarakat gampang terjerumus dalam politik beli suara.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil langkah strategis untuk mengatasi persoalan pasar oligopsoni tersebut sekaligus berkoordinasi dengan setiap pemangku kepentingan. Harapannya, ada alternatif yang win-win solution. Pesannya, mengutip pemikir politik Antonio Gramcsi, “di belakang politik ada ekonomi”.Keseimbangan keduanya, masyarakat akan sejahtera.
Sebelum soal Pajak PPN 10%, “keseimbangan” Pemda Manggarai sedikit oleng atas rebut-ribut soal semenisasi lodok dan serapah sampah. Semua bersimpul pada soal pariwisata (green tourism). Soal itu, semua pelaku, pegiat dan pemerhati pariwisata melakukan kritik.
Kritik itu disambut warga dan diamplikasi oleh para simpatisan calon lawan politik petahana. “Sumpah serapah” politis pun berjamur. Tampaknya, petahana bisa baca lawan. Semua kritikan itu diladeni dengan kerja.
Seakan kritikan menjadi semacam konsultasi gratis. Lodok yang dipersoalankan pun di-renaturalisasi; serapah sampah dibersihkan. Ada berkah politiknya juga (bagi petahana): kampanye masalah teratasi sebelum kampanye politik.
Ribut-ribut di atas diurai dalam konteks rebut kekuasaan (politik), bukan dalam kacamata good governance. Uraian tersebut dimaksudkan agar kita senantiasa rasional dalam menguliti dinamika politik. semua lumrah di musim kontestasi.
Tak usah pula mengutik delik. Tak usah “baper” juga. Dalam politik Pilkada, “baper” biarlah hanya untuk para penjudi politik; rasional untuk pemilih yang mencintai keadilan. Sekian.
Halaman : 1 2