Uskup emeritus Keuskupan Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Pr tutup usia. Kabar duka ini tersebar cepat di berbagai saluran media sosial pada 31 Juli 2022 pagi. Mgr Hubert, begitu ia biasa disapa, meninggal dunia di RS Carolus Boromeus Bandung sekitar pukul 06.00 WIB.
Mgr Hubert memang menetap di Bandung sejak mengundurkan diri sebagai Uksup Ruteng pada 11 Oktober 2017.
Uskup kelahiran Taga, Ruteng 1 Januari 1959 ini, mengundurkan diri atau meletakan tongkat kegembalaan setelah dugaan skandal keuangan dan kedekatannya dengan seorang perempuan mengemuka ke publik. Hal itu memicu desakan dari sebagian umat agar ia mundur dari jabatannya sebagi uskup Ruteng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terlepas dari kontroversi yang memicunya mengundurkan diri, selama menjadi Uskup Keuskupan Ruteng, Mgr Hubert dikenal sebagai seorang gembala yang terlibat secara aktif dalam berbagai persoalan sosial kemasyarakatan.
Mgr Hubertus Leteng ditunjuk Vatikan menjadi Uskup Ruteng pada 7 November 2009 dan kemudian ditabiskan menjadi uskup pada 14 April 2010.
Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC bersama imam dan biarawati di samping persemayaman jenazah Mgr Hubertus Leteng, Pr. Foto: Tajukflores.com/Istimewa.
Isu sosial yang menjadi diskursus masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk tiga kabupaten yang menjadi wilayah kerja Keuskupan Ruteng yaitu Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur, pada saat itu adalah soal investasi sektor ekstraktif, pertambangan.
Izin tambang marak diberikan oleh bupati di berbagai daerah setelah diterbitkannya Undang-Undang Mineral dan Batubara No.4 tahun 2009. Tak terkeculi bupati-bupati di NTT, lebih khusus lagi Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur.
Aktivis sosial dan lingkungan menolak masuknya investasi pertambangan di Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur, selain karena merusak lingkungan, juga dinilai tidak berdampak positif bagi perekonomian masyarkat lingkar tambang. Namun, ada juga sebagian kalangan yang medukung investasi sektor pertambangan, dengan alasan akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Dalam kondisi pro dan kontra ini, Mgr Hubert Leteng tampil dengan sikap yang tegas, tidak abu-abu. Ia menyatakan menolak investasi pertambangan di wilayah Keuskupan Ruteng.
Sikap penolakannya ini tidak sekedar himbauan dari altar gereja. Seruannya juga tidak hanya melalui surat gembala. Tetapi, lebih dari itu, Mgr Hubert memindahkan `altar gereja` ke tengah pusaran persoalan masyarakat. Ia sendiri terlibat dan berada bersama masyarakat lingkar tambang dan aktivis yang menolak aktivitas pertambangan.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya