Tajukflores.comRomo Franz Magnis Suseno, seorang pakar etika politik dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Jakarta, memberikan pandangannya terkait pelanggaran etika yang terjadi dalam Pilpres 2024, khususnya terkait penggunaan bansos oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai alat politik.

Menurut Romo Magnis, bansos bukanlah milik presiden atau individu tertentu, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia.

Pembagiannya seharusnya menjadi tanggung jawab kementerian terkait, bukan dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu.

Dalam analoginya, Romo Magnis Suseno menegaskan bahwa tindakan presiden yang mengambil bansos untuk dibagikan dalam rangka kampanye pasangan calon tertentu dapat disamakan dengan tindakan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko.

Menurutnya, hal ini merupakan bentuk pencurian dan pelanggaran etika yang menunjukkan bahwa orang tersebut telah kehilangan wawasan etika.

“Itu pencurian, ya pelanggaran etika. Itu juga tanda bahwa dia sudah kehilangan wawasan etika,” tegas Romo Magnis.

Namun, tanggapan ini tidak dibiarkan begitu saja. Hotman Paris Hutapea, anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran, menyoroti pernyataan Romo Magnis tersebut.

Hotman mengklaim bahwa pemerintah telah membagikan bansos maupun perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp 408 triliun pada tahun 2021 dan meningkat menjadi Rp 431 triliun pada tahun 2022.

Baca Juga:  Jokowi Tegaskan Tidak Akan Kampanye di Pilpres 2024

Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah memberikan bantuan kepada fakir miskin tanpa adanya motif politik.

Hotman juga menekankan bahwa bansos yang telah dibagikan sudah sesuai dengan data yang ada berdasarkan DTKS (data terpadu kesejahteraan sosial) dan P3KE (pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem). Dengan demikian, klaim bahwa bansos digunakan sebagai alat politik dipertanyakan oleh Hotman.

Debat antara Romo Magnis dan Hotman Paris Hutapea menyoroti kompleksitas isu etika dalam konteks politik dan pemanfaatan program bantuan sosial.

Romo Magnis menekankan aspek etika, sedangkan Hotman Paris fokus pada data dan mekanisme penyaluran bansos. Lalu siapa Romo Magnis Suseno?

Profil Romo Magnis Suseno

Romo Magnis Suseno merupakan seorang tokoh yang memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, filsafat, dan budaya di Indonesia. Meskipun lahir di Jerman, perjalanan hidupnya membawanya pada pengabdian yang mendalam terhadap Indonesia.

Romo Magnis atau yang bernama lengkap Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis lahir di di Eckersdorf, Sesilia, Distrik Glatz, Jerman pada 26 Mei 1936.

Semasa kanak-kanak, ia bersama keluarga pernah mengalami situasi yang sangat buruk akibat perang dunia (PD) II. Daerah Jerman paling timur itu, sesudah perang dunia II dipotong lalu diberikan seperlimanya kepada Polandia dan sisanya kepada Uni Soviet. Sedangkan 9 juta penduduk Jerman dari daerah ini diusir ke Jerman Barat.

Baca Juga:  Ganjar Dinilai Lanjutkan Proyek IKN dengan Model Berbeda

Franz Magnis, yang merupakan seorang bangsawan, adalah anak sulung dari keluarga tersebut. Saat belum genap berusia 10 tahun, bersama keluarganya harus lari dari kejaran tentara Uni Soviet menuju ke Cekoslovakia Barat, dan dari situ kemudian melarikan diri lagi ke Jerman Barat.

Pengalaman sulit ini telah membentuk pribadinya dan memberinya landasan moral yang kuat.

Keluarga Franz Magnis-Suseno adalah keluarga Katolik yang taat. Minat dan komitmen Franz terhadap agama dan rohaniahnya mulai terlihat sejak masa kecilnya.

Setelah berusia 19 tahun (1955), dia menyelesaikan studi di Humanistisches Gymnasium, pendidikan setingkat SLTA, kemudian masuk menjadi anggota tarekat Serikat Yesus (SY) atau Ordo Yesuit. Di situ ia menjadi rohaniawan muda Katolik.

Dua tahun pertama masuk Ordo Yesuit, rohaniawan muda ini mengisinya dengan mendalami kerohaniaan di Neuhausen, antara tahun 1955-1957.

Usai pendalamaan kerohanian, sebagaimana yang biasa berlaku umum di lingkungan Serikat Yesus, Franz Magnis mendalami studi filsafat di Philosophissche Hochschule, Pullach, dekat kota Munchen antara tahun 1957-1960.