Ishata (65), merupakan salah seorang warga tetua di kampung Pasir Panjang di Pulau Rinca, salah satu pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Ia tampak tidak segan-segan bercerita tentang masa lalu penduduk di Pulau Rinca termasuk soal asal muasal Komodo (varanus komodoensis). “Kalau yang pertama kali menghuni Pulau Rinca adalah suku Komodo, kemudian disusul suku Bajo,” kisahnya.
Menurut legenda, Komodo sebenarnya merupakan kembaran dari suku Komodo yang dilahirkan oleh seorang wanita bernama Putri Naga yang kemudian menikah dengan seorang pria setempat. Putri Naga kemudian melahirkan seorang laki-laki dan sebuah telur yang kemudian menetaskan hewan komodo betina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kaitan suku Komodo dengan hewan Komodo itu diketahui saat anak dari Putri Naga sedang berburu. Kala itu ia menemui seekor komodo yang hendak memakan rusa buruannya. Saat akan membunuhnya, muncul sang Putri Naga Komodo yang memberitahu bahwa komodo tersebut adalah saudara kembarnya.
“Kalau tidak ada peristiwa perburuan maka saudaranya ini tidak tahu bahwa kembarannya ini Komodo. Dia mau angkat panahnya, kata mamanya janganlah engkau bunuh, itulah saudaramu,” ujar Ishata.
Dari cerita warga, Komodo biasanya turun ke perkampungan mereka karena mencium bau anyir atau amis. Komodo biasanya mengejar kambing warga atau kucing yang mendekati habitat mereka. Namun, kata Ishata, di zaman dahulu komodo bisa mengerti bahasa suku Komodo.
Seperti moke mai (jangan datang), moke waki ahu (jangan gigit saya). Dan, komodo itu pergi dengan sendirinya. Tapi, sayangnya kebiasaan itu kini telah pudar, seiring dengan pejalanan waktu dan perkembangan peradaban manusia.
Penduduk Desa Pasir Panjang berjumlah sekitar 1.330 jiwa atau sekitar 450 kepala keluarga (KK) dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan. Namun, penduduk asli Pulau Komodo, praktis tidak diketahui persis berapa jumlahnya.
Atas dasar itu, Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat kemudian menilai bahwa para penghuni Pulau Komodo tidak memiliki hak atas kepemilikan lahan yang mereka tempati selama ini.
“Mereka tidak memiliki hak kepemilikan lahan seperti hak warga negara lain. Mereka tidak memiliki sertifikat hak kepemilikan atas lahan di Pulau Komodo,” kata Viktor Bungtilu Laiskodat ketika ditanya soal upaya pemerintah NTT terhadap warga setempat saat Pulau Komodo dikonservasi pada 2020.
Hambat populasi
Selama ini masyarakat yang mendiami Pulau Komodo tidak terlayani secara baik khususnya dalam aspek pelayanan kesehatan maupun sektor pendidikan, sehingga Presiden Joko Widodo menghendaki agar warga di Pulau Komodo direlokasi ke tempat yang layak dan diberikan lahan yang memadai disertai sertifikat hak kepemilikan lahannya.
Menurut Gubernur Laiskodat, apabila masih ada warga yang menempati Pulau Komodo maka pertumbuhan manusia yang tinggal di kawasan itu lebih cepat dari pada populasi Komodo sehingga dikhawatirkan habitat Komodo akan terus berkurang.
Gubernur Laiskodat mengatakan, banyak pihak di NTT mendukung terhadap kebijakan pemerintah daerah untuk menutup Pulau Komodo selama satu tahun mulai 2020 sebagai upaya melakukan penataan kawasan konservasi Komodo.
“Kami inginkan kawasan wisata di Pulau Komodo menjadi indah, bersih dan ekosistemnya kembali seperti yang aslinya sehingga Komodo terus bertambah dengan populasi yang banyak. Atas dasar alasan itu maka mulai 2020, Pulau Komodo harus dikonservasi,” kata Laiskodat.
Didik Pradjoko M.Hum, dosen pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam penelitiannya mengatakan penduduk Pulau Komodo dikenal dengan sebutan Ata Modo dan pulaunya disebut Tana Modo.
Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT Marius Ardu Jelamu, mengatakan konservasi yang menyasar Pulau Komodo akan dilakukan secara bertahap. Salah satu yang akan dilakukan adalah memindahkan warga lokal ke pulau lain di dekat Pulau Komodo.
Halaman : 1 2 Selanjutnya