Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme merupakan sebuah anomali dalam pembentukan Undang-Undang No. 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Anomali karena TAP MPR VI/MPR/2000 sudah tegas memisahkan peran TNI dan Polri masing-masing dengan undang-undang tersendiri, guna memenuhi agenda reformasi.

Anomali yang paling serius dan masih berlanjut terjadi adalah dimana Pemerintah justru menyiapkan R-Perpres Tentang Peran dan Fungsi TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Saat ini sedang dalam proses disahkan menjadi Perpres oleh DPR sebagai turunan dari Pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Padahal terorisme telah menjadi konsensus nasional sebagai suatu tindak pidana sebagaimana rumusannya telah diatur di dalam UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Lalu bagaimana jadinya jika TNI ditarik masuk ke dalam aksi penegakan hukum yang merupakan domain Polri dengan pijakan hukum acaranya adalah KUHAP? Tentu tidak boleh dan tidak pada tempatnya TNI ditarik ke dalam ranah Polri.

Baca Juga:  Paus Benediktus Meninggal, Kontroversi dan Skandal Pelecehan Seksual Gereja Katolik

Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam menanggulangi aksi terorisme yang mengancam kedaulatan negara dan merongrong kehormatan negara pada bagian hulunya perlu diatur dengan UU tersendiri bukan dengan Perpres. Agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, berupa tindakan yang melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang dan bertindak sewenang-wenang, yang menunjukan supremasi TNI dalam tugas-tugas sipil. 

Pepres tak cukup legitimate power

Perpres tidak cukup memberikan dasar legitimasi yang kuat, karena peran strategis TNI dalam menindak aksi terorisme pada bagian hulu memerlukan dukungan publik yang luas. selain memenuhi aspek sosiologis, yuridis dan filosofis dalam suatu UU tersendiri. Ia tidak boleh dicampuradukan dengan peran strategis Polri dalam tugas proyustisia yaitu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Baca Juga:  Ongkos Mahal Tinggal di Kota Wisata Premium Labuan Bajo

Meskipun Perpres sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun ketentuan ini tidak cukup kuat untuk memberi dasar legitimasi bagi pelaksanaan tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme pada bagian hulu, yaitu mengancam eksistensi negara, ideologi negara, kedaulatan NKRI dan kehormatan negara.

TNI sebagai alat pertahanan negara mengemban tiga fungsi yaitu fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan, yang dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Peran mengatasi aksi terorisme sebagai operasi militer selain perang tidak bisa lain selain harus diatur dengan UU, karena cakupan tugasnya sangat berat dan luas menyangkut keselamatan NKRI.