Nur menyebut sekolah tempatnya mengajar sebagai contoh. Murid-murid di sekolahnya kebanyakan datang dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Tak bisa dipungkiri, sambungnya, tak banyak dari muridnya yang paham betul pentingnya belajar.
“Dalam satu kelas paling berapa persen anak yang ada kemauan belajar. Yang lain [sekolah] hanya pertemuan saja, untuk bermain, curhat,” ujarnya.
Nur juga mengingatkan wacana perbaikan sistem UN sebenarnya sudah beberapa kali dilakukan, namun hasilnya pun sama saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau menurut saya, UN itu kan hanya nama saja yang diganti. Dulu ada EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). produknya sama saja,” kata Nur.
Perkara kurikulum menurut Nur bisa dijadikan contoh terkait hal ini. Sebagai guru ia mengaku pusing dengan kurikulum yang tiap berapa tahun berganti bersamaan dengan pergantian Mendikbud.
“Kita lihat di luar negeri paling sedikit 10 tahun uji coba kurikulum. Kita belum selesai sudah yang baru lagi. Kapan ngujinya? Kita guru juga kebingungan. Kalau yang di atas sih bisa saja mau buat apa. Kita yang bingung,” tambah Nur.
Kendati menurutnya masih dibutuhkan, Nur tak bisa menampik bahwa sistem UN yang dijalani saat ini memberi tekanan tersendiri untuk murid.
Secara terpisah, salah seorang murid di SMKN 2 Jakarta menceritakan pengalamannya ketika menjalani ujian nasional setahun lalu. Siswa yang kini duduk di kelas X SMK itu mengaku ia dan kawan-kawan kala itu sudah mulai mencicil belajar materi untuk UN sejak masuk kelas IX SMP.
“Cari-cari buku buat UN, tentang mata pelajarannya kelas satu sampai tiga. Itu dicoba semuanya. Dari materi kelas satu dikerjain, takut keluar. Padahal yang keluar nanti cuma sedikit, kan ngeselinnya di situ,” pungkas Farhan jengkel.
Meski pada akhirnya ia mengaku semua materi yang keluar saat UN sudah mantap ia pelajari, rasa gugup dan takut tak bisa ia hindari.
Nazwa, murid kelas 10 dari SMA Negeri 25 Jakarta juga mengatakan hal serupa. Ia mengenang betapa padat jadwal belajarnya ketika masih duduk di kelas 9 SMP dan akan menjalani UN.
“Beli buku banyak banget, belajarin satu-satu. Les juga bimbel (bimbingan belajar) di luar sekolah. Dari kelas sembilan semester satu sudah belajar. Kekejar sih cuma capek aja kurang istirahat. Full belajar terus,” curhat Nazwa.
Soal Ujian Nasional, dalam Rakor bersama disdik se-Indonesia tersebut kemarin, Nadiem mengatakan pada 2020 mendatang tetap dilaksanakan. Dan, sambungnya, baru dihapus guna diganti denan Asesmen Kompetisi Minimun dan Survei Karakter per 2021. Menurut Nadiem lewat pengubahan sistem UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu justru lebih membuat sekolah lebih tertantang.
“Enggak sama sekali [membuat siswa lembek], karena UN itu diganti asesmen kompetensi di 2021. Malah lebih men-challenge sebenarnya,” kata Nadiem di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (11/12) petang.
Nadiem menyebut usai sistem ujian baru ini diterapkan, pihak sekolah harus mulai menerapkan pembelajaran yang sesungguhnya, bukan sekedar penghafalan semata. Menurutnya, kebijakan penghapusan UN akan dimulai pada 2021. Nadiem menjelaskan pengganti UN yakni asesmen kompetensi dan survei karakter tak berdasarkan mata pelajaran. Tes tersebut hanya berdasarkan pada literasi (bahasa), numerasi (matematika), dan karakter.
Sementara itu di kompleks yang sama, Menko PMK Muhadjir Effendy mengatakan pelaksanaan UN memang harus dievaluasi. Namun, sambungnya, yang disampaikan Nadiem ke dirinya bukanlah penghapusan melainkan modifikasi.
“Yang disampaikan ke saya bukan dihapus, dimodifikasi dan memang harus dievaluasi kan,” kata Muhadjir yang juga mantan Mendikbud tersebut.
Muhadjir lantas menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdapat tahapan evaluasi dalam proses belajar. Ia menyebut pihak yang bisa mengevaluasi antara lain guru, satuan pendidikan, dan pemerintah.
“Ujian nasional itu adalah evaluasi yang dilakukan oleh negara,” tuturnya.
Muhadjir menganggap wajar kritik yang disampaikan terkait keputusan Nadiem menghapus pelaksanaan UN dan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Menurutnya, kritik itu bentuk kepedulian masyarakat terhadap pendidikan.
Halaman : 1 2