Tajukflores.com – Jalan raya di pinggiran Kali Sekretaris, Kebon Jeruk, Jakarta Barat nampak sepi malam itu. Beberapa perempuan muda bercengkerama di bawah temaram lampu jalan. Sesekali mereka melambaikan tangan kepada pengendara motor yang melintas.

Tak jauh dari mereka, seorang perempuan berbaju kaos biru muda terlihat memperbaiki riasan. Namanya Desy, berusia 20 tahun. Ia berasal dari sebuah desa di Jawa Barat. Malam itu Desy terlihat kikuk. Berdiri di pinggir jalan tak biasa baginya. Senyumnya mengembang dari bibirnya tatkala ia mencopot masker yang menutupi mulut dan hidungnya.

“Saya orang baru di sini. Tadinya di Mangga Besar,” kata Desy malam itu.

Pandemi Covid-19 membuat sekitar 3,5 juta karyawan di Indonesia kehilangan pekerjaan sejak Maret lalu. Desy yang belum genap setahun bekerja sebagai ladies di sebuah tempat hiburan malam di kawasan Mangga Besar, Jakarta itu ikut “tersingkir”.

“Tempat saya ditutup. Saya belum terlalu kenal Jakarta. Akhirnya saya diajak teman ke sini,” kata Desy.

Desy mengaku baru setahun bekerja di Jakarta. Sebagai orang baru yang belum mengenal kehidupan di Ibu Kota, membuat Desy manut dengan ajakan temannya.

“Tak ada pemasukan. Tabungan sudah menipis. Saya butuh biaya untuk sewa kos dan biaya hidup lainnya,” ujar perempuan yang hanya tamatan sekolah dasar ini.

Desy mengaku bukan Satpol PP yang mereka takuti, tetapi pandemi yang membuat sebagian warga Jakarta masih ragu bertemu orang banyak. “Belum ada tamu sama sekali, masih sepi dari tadi,” katanya.

Untuk sekali kencan, Desy mematok harga Rp600 ribu. Harga itu terbilang lebih mahal untuk pekerja seks komersial (PSK) yang biasa mangkal di kawasan itu. Namun, wajah dan penampilannya yang lebih segar tentu saja menjadi daya tarik.

“Mentoknya Rp500 ribu. Ini lebih murah kalau saya terima tamu langsung di hotel,” katanya.

Jika tamu sepakat, Desy membawa tamunya ke sebuah hotel melati, sekira 200 meter dari tempat mangkalnya. Saat pandemi ini, dia menyuruh tamunya membersihkan badan terlebih dahulu sebelum melepas `dahaga batin` di atas kasur.

“Saya masih takut-takut sih, cuma keadaan ini sudah mendesak. Saya yakin tamu yang datang bersih. Mereka tak mau ambil resiko juga kan,” katanya.

Sekitar dua kilometer dari Kali Sekretaris, kami bertemu Yeyen di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Wanita ini sedikit lebih tua sembilan tahun di atas Desy. Berbeda dengan Desy, Yeyen tidak mencari tamu di pinggir jalan. Malam itu, kami janjian bertemu di sebuah mini market setelah bertemu di Tantan, sebuah aplikasi pencarian Jodoh.

“Ayo ke kamarku saja,” ajaknya.

Yeyen tinggal di sebuah wisma, tak jauh dari mini market itu. Kamarnya berukuran besar, dilengkapi beberapa perabotan seperti televisi dan kulkas. Aroma harum menusuk hidung tatkala masuk ke kamarnya yang sengaja dibiarkan temaram malam itu. “Semenjak Covid aku mulai bawa tamu ke sini,” lanjutnya.

Pandemi Covid-19 membuat Yeyen banting stir menerima tamu di kamarnya. Sebelum pandemi, Yeyen bekerja di sebuah panti pijat di kawasan Kedoya. “Di panti hanya layani pijat. Kalau ada tamu yang pengen lebih saya tolak,” katanya.

Kondisi mulai berubah sejak April lalu. Panti pijat tempat Yeyen bekerja ditutup karena pandemi. Meski kerap kucing-kucingan dengan petugas, namun tak banyak pelanggan yang datang. “Kalaupun ada tamu kita harus bagi hasil dengan teman-teman, belum sewa kamarnya,” ujar Yeyen.

Yeyen mematok harga Rp400 ribu untuk sekali kencan. Tapi malam itu dia menurunkan sedikit harga dengan dengan harapan saya akan menjadi pelanggannya. “Ini buat perkenalan awal, biar abang tak kapok ke sini lagi kan,” katanya dengan suara yang sedikit manja.

Yeyen berasal dari Jakarta Utara. Seminggu sekali ia menengok ketiga buah hatinya yang tinggal bersama orang tuanya. Terkadang, ibu dan ketiga anaknya menginap di wisma kala Yeyen libur. “Ibu dan anak saya tahu kalau saya tukang pijit,” kata Yeyen.

Sebagai ibu tunggal, Yeyen bekerja apa saja untuk biaya hidup dan kebutuhan sekolah ketiga anaknya. Ia mengaku, penghasilannya sebagai terapis menurun drastis semenjak tempat pijit ditutup total.

“Anakku gak punya ayah kan, aku gak mau mereka tambah susah lagi. Semua kebutuhan sekolah harus, buku dan les. Gak apa-apa biar aku jauh asal kebutuhan mereka tercukupi,” katanya.

Suami Yeyen meninggal dunia delapan tahun lalu. Sebelum ditinggal sang suami, kehidupan Yeyen dan ketiga anaknya terbilang lebih dari cukup. Mereka tinggal di sebuah apartemen dan memiliki sebuah mobil.