Sebagian komunitas politik lokal di Indonesia masih yakin bahwa kelahiran pemimpin politik seperti bupati tidak hanya didukung oleh faktor-faktor seperti elektabilitas, kapabilitas, polularitas dan kemampuan finansial, melainkan juga “garis tangan.”
Narasi ini diperkuat dengan kemenangan sentimen religius dan suku dalam kontestasi lokal.
Narasi ini diyakini berada di luar kontrol nalar politik. Menjadi pemimpin sudah ditentukan nasib, bahkan sudah sejak sedia kala. Sudah ada orang di tiap zaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penulis di Ruteng Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Agustinus Edward Tasman menulis artikel berjudul, “Pilkada Mabar dan Diskursus Politik Garis Tangan” yang dipublikasikan Vox NTT.
Edward mengeritik “logika mistika” (bdk. Tan Malaka “Madilog”: 1946) yang menguasai perbincangan lokal, faktum yang mengalahkan nalar politik (rational discourse). Nalar politik loyo di hadapan tahayul.
Kritik Edward diarahkan pada komunitas politik yang justru bersembunyi di balik “logika mystica” saat tindakan dan pilihan politis mereka dipertanyakan.
“…ini kekalahan telak nalar berhadapan dengan takhayul dalam politik kita,” tulis Edward.
Menurut Tan Malaka, logika mistika merupakan fase sejarah pemikiran dimana mitos mengalahkan logos, yang dipengaruhi sejarah “penjajahan” yang dialami bangsa Indonesia. Di masa penjajahan, masyarakat cenderung berpikir secara pasif dan mengalah pada nasib.
Dalam fase epistemik ini, massa cenderung jatuh pada tahayul. Pada fase ini, keyakinan pada kekuatan gaib, mantra, doa-doa, sesajen dianggap sebagai cara untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup.
Peran dukun, cenayang, tukang tenung, pawang dan syaman menjadi penting. Mereka adalah sumber pengetahuan dan kadangkala dekat dengan kekuasaan.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya