Dalam “Selek” ada ritus “Teing Hang” (:memberi sesajen kepada leluhur) dimana “tetua” mendoakan sang calon agar selamat proses yang ia jalani.
Ada pesan yang terungkap dalam ritual ini saat tokoh adat memperlihatkan tanda-tanda hewan kurban (ayam, babi, dst). Ramalan yang kemudian diterima komunitas sebagai sesuatu yang positif dan optimis bahwa Tuhan dan leluhur selalu dipresepsikan “penjaga perjuangan dan pendukung” menuju tujuan.
Dari aspek sosial, tradisi seperti bertujuan untuk mengikat dukungan dari kelompok terdekat, misalnya keluarga dan tim pendukung, sebuah pendekatan untuk elektabilitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain upacara ritual, ada juga kebiasaan seperti “toto kopi.” Toto Kopi adalah kebiasaan meramal nasib melalui tanda-tanda yang ditampilkan dari ampas kopi. Sebagian orang meyakini bahwa ada “orang pintar” yang bisa membaca masa depan melalui ampas Kopi.
Peran pawang juga tidak kalah penting. Misalnya, agar kampanye akbar terbebas dari hujan lebat yang membuyarkan “pawang hujan” diminta mengatur jadwal air dari langit. Si pawang biasanya langsung berhubungan dengan kontestan, tanpa perantaraan pihak ketiga.
Peran dukun pun langgeng. Dukun tidak hanya menjaga di calon dari serangan dari empat penjuru mata angin, melainkan juga memberi informasi-informasi penting bagi kontestan. Lebih dari itu, dukun juga “konsultan mistis” agar si kontestan bisa menjaga diri dan mampu menghadirkan diri dengan baik di tengah massa.
Bahkan dalam suatu pengalaman, dukun diminta “mendoakan” data pemilih agar pemilih berpihak atau beralih pada kontestan yang didukung.
Praktik logika mistika seperti ini, hemat saya menjadi bagian dari narasi rakyat ketika yang menguasai perbincangan adalah narasi elit, misalnya soal kursi partai, modal politik, popularitas calon, aturan kepemiluan, isu-isu elektoral, survey, dsb.
Logika mistika juga malah dipelihara elit ketika pengetahuan politik berada dalam kontrol kekuasaan. Ini bukan sebuah kemerosotan nalar, melainkan cara sebagian orang eksis dalam merayakan kontestasi lokal.
Sebagai cara eksis, toh tidak elok kemudian logika mystica yang hidup dalam tradisi ditafsir sebagai kemerosotan logika. Yang mistik dan praktiknya adalah bagian dari narasi politik itu sendiri.
Artikel ini pernah dipublikasikan di Qureta.com
Penulis: Fian Roger, warga Ruteng, Manggarai (artikel ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili organisasi tertentu).
Halaman : 1 2