Gugatan Grup MNC agar Mahkamah Konstitusi mengubah isi UU Penyiaran 2002 adalah ancaman bagi kita semua.

Grup MNC meminta MK menetapkan bahwa UU Penyiaran 2002 juga mengatur penyiaran melalui internet.

Mereka galau karena yang diatur selama ini oleh UU Penyiaran 2002 cuma perusahaan-perusahaan televisi dan radio yang bersiaran free to air (misalnya RCTI dan Trijaya FM, yang siarannya ditangkap melalui antena biasa), yang bersiaran melalui kabel (misalnya First media), atau yang bersiaran melalui satelit (misalnya Indovision) .

Mereka galau karena pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia tidak mengatur layanan Over The Top, yakni layanan siaran melalui internet, seperti NetFlix ataupun Youtube.

Muatan UU Penyiaran memang perlu disesuaikan.

UU Penyiaran 2002 dibuat 18 tahun yang lalu. Dalam definisi penyiarannya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan penyiaran adalah “siaran yang dipancarluaskan dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Karena definisi itu, siaran melalui internet tidak diatur.

Para pembuat UU dulu mungkin tidak pernah membayangkan akan ada NetFlix atau Youtube. Tapi sejarah berjalan cepat. Dalam beberapa tahun terakhir ini meledak siaran televisi ataupun audio melalui internet.

Fenomena Youtuber adalah contoh terbaik.

Saat ini kita mengenal banyak sekali Youtuber dengan jumlah subscriber dan penonton yang luar biasa besar. Saya sebut saja beberapa nama paling top: Atta Halilintar 25 juta subscriber, Ria Ricis 22 juta, Gen halilintar 17 juta Baim Wong sekitar 15,7 juta. Dedi Corbouzier 11 juta.

Viewersnya pun luar biasa. Jumlah penonton video terpopuler Atta Halilintar bisa mencapai 30 juta. Buat si youtuber ini adalah sumber pemasukan uang luar biasa.

Pertanyaannya: siapa yang membayar Atta dkk? Bukan Youtube. Youtube hanya menyediakan platform digital bagi para youtubers untuk berkreasi. Adapun uang mengalir dari pemasang iklan yang tergiur dengan popularitas para Youtubers itu. Para pengiklan membayar Youtube, dan kemudian Youtube akan menshare sebagian pemasukan (sekitar 50% ) dari pengiklan kepada Youtuber.

Ini nampak menguntungkan semua pihak. Pengiklan mendapat media beriklan yang relatif murah, lebih segmented. Youtube mendapat uang dari pengiklan. Youtuber dapat uang dari Youtube. Penonton Youtube bahagia mendapat tontonan gratis. Lebih jauh lagi, setiap warga sebenarnya bisa menjadi youtuber, membuat konten dengan biaya murah dan dikenal publik, tanpa harus melalui media besar.

Tapi not Everybody happy. Yang masygul adalah Grup MNC.

Sekadar informasi, sebenarnya yang menggunakan Youtube bukanlah cuma Youtuber-youtuber individual ya. Sejumlah stasiun televisi besar juga punya channel youtube yang populer. Channel Trans7 official memiliki 16 jutaan subscriber Indosiar memiliki 13 jutaan subscriber SCTV 11 juta

Tapi channel-channel grup MNC memang relatif kecil atau lebih kecil. RCTI hanya punya 3 juta subscriber dan iNews cuma 2 jutaan. Karena itu mereka masygul.

Mereka marah karena pundi-pundi kekayaan mereka terancam sementara mereka gagal bertarung di platform digital ini. Grup MNC tentu sebenarnya tidak dengan sendirinya keberatan kalau ada artis bernama Atta Halilintar memperoleh fans begitu banyak di Youtube. Mereka marah karena popularitas Atta di Youtube itu merebut keuntungan yang selama ini mengalir pada mereka.

Sekarang banyak pengiklan memutuskan untuk mengalirkan dana iklan ke Youtube, atau facebook atau platform media digital lainnya. Mereka juga membayar para youtuber sebagai endorser atau influencer produk mereka.

Tapi ini semua berdampak pada pengurangan uang iklan yang mengalir ke stasiun televisi. Pengurangan iklan ini memang tidak akan membuat RCTI bangkrut. Uang iklan yang mengalir ke stasiun televisi grup MNC masih berada di atas Rp 10 Triliun setiap tahunnya. Tapi yang jelas realokasi anggaran iklan ke media sosial ini memang mengurangi tingkat keuntungan mereka.