“Iya (masa) pandemi ini anak-anak kekurangan aktivitas ya. Kalau sekolah, dia banyak aktivitas, capek, mungkin anak lebih nyenyak tidur. Tapi sekarang (masa pandemi) kan tidak ada aktivitas berarti,” jelas Oriza.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPPA) Nahar mengatakan, game online menjadi salah satu media online yang membutuhkan perhatian serius semua pihak.
Menurutnya, game memiliki sisi positif bagi anak, misalnya menjadi sarana hiburan yang menyenangkan dan menghilangkan stress, melatih koordinasi mootrik, mengembangkan kemampuan berfikir, meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri, melatih multi-tasking, dan membangun semangat kerjasama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Namun, orang tua sebagai pendamping utama perlu memahami bahwa tidak semua game bermanfaat dan baik dimainkan anak. Ada beberapa games yang berbahaya, misalnya memuat adegan pornografi, mengandung adegan kekerasan, memuat hate speech atau memuat adegan judi,” jelas dia.
Menurut Nahar, anak yang memiliki pola komunikasi yang kurang baik dengan orangtuanya lebih rentan menjadi korban adiksi games atau konten-konten di media sosial hingga kekerasan dan eksploitasi di media sosial. Selanjutnya, anak yang di rumah mengalami situasi BLAST (bored, loneliness, angry, stress and tired) akan berpeluang menjadikan games, internet dan media sosial sebagai media katarsis atau pelarian.
“BLAST merupakan fenomena yang merujuk pada rapuhnya kondisi anak-anak di era digital akibat lemahnya sistem sosial yang paling utama dalam kehidupan mereka, yakni keluarga,” kata dia.
Nahar mengatakan BLAST memiliki dampak yang serius terhadap proses tumbuh kembang anak. Jika anak tidak bisa mengendalikan diri dan mengalami BLAST, tentu akan berpengaruh buruk pada dirinya sendiri, kelompoknya, ataupun orang lain.
Anak yang umumnya terserang fenomena BLAST adalah mereka yang tidak memiliki hubungan harmonis dengan orangtuanya. Hal ini mengakibatkan anak tumbuh dengan jiwa yang kosong.
“Anak dalam kondisi ini lebih memilih membangun kelekatan dan emosional yang baik dengan dunia maya dibandingkan bersama orang tua. Celakanya, tidak sedikit anak-anak kita yang terjebak dalam situasi ini dan kemudian menjadi korban adiksi games online hingga kekerasan dan eksploitasi melalui media online,” kata dia.
Peran orang tua
Fitriani mengatakan peran orang tua menjadi penting dalam perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikis. Agar anak tidak menjadi adiktif gadget, harus disertai pengawasan dan kontrol ketat dari orang tua.
Fitriani menjelaskan, batas maksimum seorang anak mengakses media audiovisual ialah dua jam tiap harinya. Seorang anak dikatakan adiktif jika lebih dari dua jam secara berturut-turut. Karena itu, di luar kepentingan sekolah, orang tua sebaiknya mengizinkan anak menggunakan gadget pada saat akhir pekan (weekend) untuk memudahkan pengawasan, baik durasi tonton maupun konten-konten yang dikonsumsi seorang anak.
“Tapi kalau anak-anak dibiarkan tiap hari, itu kan ada unsur adiktifnya. Nah sebenarnya paling aman, cukup di weekend. Dia gak sekolah, santai,” kata Fitriani.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya