“Karena puisi tuanku saja tidak mampu membahasakan isi kepalanya, maka aku memeluknya dengan erat dan mendengar ia berkisah tanpa nada”
Tak terhitung berapa kali ia mengenakan aku semenjak ia tersenyum bangga di kamar pas sebuah butik sambil menghitung lembaran uang kertas berwarna biru. Ia mengecupku dengan bibirnya yang berlipstik cokelat tipis dan memelukku dengan erat.
Dari bibirnya, aku tahu kalau ia menabung sekian lama untuk mendapatkan aku. Ia menghindari bakso dan minum di kafe hanya agar punya uang cukup untuk menghadiahkan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebenarnya honor kerjanya sangat cukup untuk membeli aku, tapi aku yakin ia hanya ingin berjuang menyenangkan dirinya dengan perasaan yang menang. Dari peluknya yang erat di kamar pas, aku mendengar detak jantung wanita untuk kesekian kalinya, tapi detak jantungnya sungguh indah diikuti dengan teraturnya ia mengambil udara untuk hidup.
Siang itu, kami menuju rumah dan kami sekamar cuman beda tempat untuk tidur. Aku di lemari tanpa pintu dan ia suka berlari-lari.
Aku pun hidup bersamanya. Untuk kedua kalinya di hari itu ia mengenakan aku; memandangi tubuhnya di cermin dan mengenalkan aku dengan keluarganya. Mereka memandangi kami dengan takjub.
Ia sungguh manis; rambut hitamnya yang lembut dilepaskannya tergerai di tiup angin, matanya indah sungguh melihatnya di cermin seperti melihat danau Rana Mese saat mendung, ia tak mencukur alis mata, pipinya sungguh tembem dan itulah yang seringkali membuatnya tak percaya diri sebagai seorang yang berumur pertengan 20an.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya