Kedua, puritanisme agama: arti sederhana dari kata puritan adalah bersih, membersihkan. Dalam artian membersihkan agama dari unsur-unsur yang tidak berasal dari originalitas agama. Umat diarahkan kembali ke semangat awal untuk menghayati keagamaannya yang asli, setia kepada tradisi awali, dan misalnya setia kepada apa yang tertulis di dalam Kitab Suci.
Semangat ini baik namun menjadi ekstrim bila pemurnian itu berarti menghapus segala unsur manusiawi di dalam keberagamaan, menghilangkan segala jejak budaya dan bahasa yang melekat pada agama tersebut. Nilai-nilai budaya lokal dan nasional dianggap mengganggu perasaan keberagamaan, dan akhirnya negara dipinggirkan.
Dan yang ketiga, dilema ideologi: secara sederhana kita bisa mengartikan ideologi sebagai dasar pemikiran dan visi yang memberi rangsangan pemikiran dan menjadi dasar dan cita-cita perjuangan kelompok. Dan biasanya ideologi itu menuntut kepercayaan padahal kepercayaan milik khas agama. Pertanyaan yang bisa saja muncul di kepala kita: Percaya kepada Tuhan saja atau percaya juga kepada yg lain? Kepercayaan menuntut juga kepatuhan, patuh terhadap ideologi agama atau negara?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dua Ekstrim Dalam Relasi Agama-Negara
Turunan dari gesekan agama-negara kemudian bisa melahirkan 2 ekstrim berbahaya dalam relasi agama-negara: Pertama, ekstrim: “mengagamakan” negara. Usaha ini pertama-tama ingin memperlihatkan penggunaan norma-norma agama di dalam kehidupan bernegara. Usaha ini akan kacau dan bias ke segala hal jika norma agama mayoritas yang dipakai, maka agama yang minoritas merasa tidak nyaman. Orang jatuh ke dalam esklusivisme beragama atau hidup dalam intimidasi atau tekanan agama lain.
Kedua, ekstrim “politisasi” agama. Agama dijadikan tameng, alat kampanye dan kedok untuk urusan politik demi menjaring umat sebanyak-banyaknya. Ada mobilisasi entah itu mobilisasi dalam narasi pikiran dan mobilisasi aksi terhadap umat untuk kepentingan politik.
Lalu pertanyaan untuk kita semua, Apa solusi yang tepat untuk bisa mengatasi atau paling tidak meminimalisir gesekan dan dua gerak ekstrimis yang ada?
Saya tawarkan pikiran John Locke. Locke dalam tulisannya yang berjudul “Letters of Toleration” menyatakan bahwa perlu ada pemisahan tegas antara urusan agama dan urusan negara sebab tujuan masing-masing sudah berbeda. Agama dan negara harus terpisah. Agama harus mengurus soal-soal agama, yakni soal iman, akhirat dan ibadat saja, menjamin moralitas masyarakat. Negara mengurusi hal-hal di luar itu. Agama adalah urusan pribadi, berbeda dengan negara yang merupakan urusan masyarakat umum.
Pemisahan antara keduanya haruslah ditegaskan, dan masing-masing tidak boleh mencampuri urusan yang lain. Negara tidak boleh mencampuri urusan keyakinan religius manusia, sedangkan agama tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat menghalangi atau menggagalkan pelaksanaan tujuan negara.
Bila negara hendak menghalangi kebebasan beragama dari warganya, maka rakyat berhak untuk melawan.
Pemikiran Locke ini bisa saja memunculkan perdebatan kritis. Sebab hampir semua agama memiliki pandangan bahwa agama harus ikut campur dalam urusan-urusan publik, misalkan dalam keadilan sosial, dalam pemerintahan dan dalam urusan-urusan moral. Meski demikian, Locke sudah membuka arah pikir kita untuk bisa memisahkan mana zona bermainnya agama dam mana zona bermainnya negara. Mana ranah agama dan mana ranah negara.
Pada bagian akhir ulasan ini saya mengutip ungkapan dari Martin Luther King : “Gereja bukanlah nyonya atau pelayan negara, tetapi hati nurani negara.” (La chiesa non è la padrona o la serva dello stato, ma la coscienza dello stato) dan Karl Popper: “Kita membutuhkan kebebasan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan negara dan kita membutuhkan negara untuk menghindari penyalahgunaan kebebasan.” (Abbiamo bisogno della libertà per evitare gli abusi del potere dello Stato e abbiamo bisogno dello Stato per evitare l`abuso della libertà).
Palermo, 20 Agustus 2019.
*Pater Doddy Sasi, CMF, Misionaris Claretian yang tengah bertugas di Roma
Halaman : 1 2