“Sungguhpun hidup begitu indah, riwayat kita teramat singkat. Pengembara, mengapa mencari yang sia-sia?” (Leo Kleden-Surat Untuk Tuhan).
Itulah sepenggal puisi karya Pater Leo Kleden, SVD dengan judul “Surat untuk Tuhan”. Hidup ini memang begitu indah dan menyenangkan, namun riwayat kehidupan kita di dunia ini tidaklah seabadi indahnya kehidupan itu sendiri.
Maka, pertanyaan yang patut muncul perihal singkatnya hidup ini adalah mengapa mencari yang sia-sia di kehidupan yang hampir sia-sia ini? Mengapa berjuang demi sesuatu yang dianggap sia-sia oleh sebagian orang, bahkan perjuangan itu pun dihujat oleh manusia di dunia ini?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengapa berjuang demi keadilan, jika keadilan itu hanyalah bunyi lonceng di gereja-gereja? Mengapa berjuang demi kebenaran, jika kebenaran itu hanyalah suara azan ketika mentari pergi ke peraduannya? Mengapa berjuang demi keutuhan, jika keutuhan itu hanyalah khotbah-khotbah di mimbar? Mengapa berjuang demi keindahan, jika keindahan itu hanyalah tapa di kuil-kuil?
Mengapa berjuang demi kebaikan, jika kebaikan itu hanyalah seruan para moralis yang berlindung dibalik kebesaran tuhan mereka, namun pada akhirnya menghakimi tuhan mereka sendiri juga? Oh… mengapa kau korbankan dirimu demi kesia-siaan ini? Ada apakah dengan dirimu ini Ahok?
Manusia menghujat keadilan yang kau tegakkan. Manusia membenci kebenaran yang kau kabarkan. Manusia menolak keutuhan yang kau rangkul. Manusia menyangkal keindahan yang kau lukiskan. Manusia tidak membutuhkan dirimu. Pergilah kau dari dunia ini dan janganlah kembali.
Bahkan hanya untuk mencium aroma dunia ini pun, manusia tak mengizinkanmu melakukannya. Dengarkanlah dan perhatikanlah! Kau bukanlah siapa-siapa bagi manusia. Kau adalah onggokan hujatan. Kau adalah segumpal kebencian. Kau adalah simbol penolakan. Kau adalah penyangkalan sejati. Untuk apa kau berjuang dan mengorbankan peluh keringatmu demi kesia-siaan ini? Ada apakah dengan dirimu ini Ahok?
Lihatlah, di sana gereja-gereja penuh dengan manusia yang tak membutuhkanmu. Tengoklah, disana masjid-masjid penuh dengan manusia yang tak merindukanmu. Pandanglah, di sana kuil-kuil penuh dengan manusia yang tak merisaukanmu. Pandanglah, di sana jalanan penuh dengan manusia yang tak mendengarkanmu. Kau tak dibutuhkan. Kau tak dirindukan. Kau tak dirisaukan. Dan kau tak didengarkan. Sekali lagi, untuk apa kau teteskan peluhmu demi manusia di bumi yang penuh kesia-siaan ini? Ahok! Ahok! Ahok! Ada apakah dengan dirimu ini?
Kau geram ketika manusia-manusia bertuhan memperjualbelikan tuhan demi kekuasaan. Dan kau tahu, kritikmu itu melawan kesia-siaan. Kau diperhadapkan dengan hukum kesia-siaan yang kau perjuangkan itu. Kesia-siaan itu tak pernah mengenal dan mengetahui siapa dirimu itu, maka hadapilah kesia-siaan yang kau perjuangkan itu.
Hukum yang katanya harus adil, ius quai iustum, tak mempedulikan tangisanmu di kursi pesakitan itu. Hukum itu adil karena suara massa manusia yang tak membutuhkanmu, yang tak merindukanmu, yang membenci peluhmu dan menghujat tetesan keringatmu. Lihatlah dan pahamilah, bahkan hukum pun tak menerima hadirmu. Hukum bahkan tak mau mendengar suaramu yang polos dan ikhlas itu. Ah… untuk apa kau memperjuangkan kesia-siaan ini Ahok?
Suaramu mengeras ketika keadilan diperkosa. Kecerdasanmu melonjak ketika kebenaran dicurangi. Moralmu merontah ketika kebaikan diperjualbelikan. Telapak tanganmu menghantam kerasnya meja kekuasaan ketika daulat rakyat dipercundangi. Matamu tajam melotot ketika kemunafikan dibalik jubah kepegawaian dipertontonkan demi mencuri uang rakyatmu. Kau pertaruhkan nyawamu di negeri, dimana nyawa pejuang kebenaran tak pernah diperhitungkan.
“Mati adalah keuntungan”, ucapmu penuh tenaga. Ahok, kau perjuangkan kesia-siaan ini dalam riwayat singkat hidupmu di dunia fana ini. Huuffffftttttt!
Halaman : 1 2 Selanjutnya