Beberapa bulan lalu dalam sebuah diskursus di ruang kelas tentang Institusionalisasi Hukum Internasional dalam kaitannya dengan Hukum Gereja, ada satu tema menarik yang dimunculkan yakni tentang relasi agama dan negara dalam pusaran sejarah.
Diskursus ini menarik ingatan akal sehat saya juga pada perkuliahan Teologi Politik beberapa tahun lalu di Fakultas Teologi Wedabhakti Kentungan Yogyakarta. Salah satu sesi dari dinamika di kelas saat itu diberi judul: Agama dan Negara, tarikan antara Injil Kristus dan Pedang Raja, yang kemudian saya ambil sebagai judul dari ulasan sederhana ini.
Agama dan Negara dalam Pusaran Sejarah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena pembicaraan kita dalam konteks Agama dan Negara dalam pusaran sejarah, maka sudah sangat pasti bahwa saya akan tampilkan ide-ide para pemikir besar dalam tiap zamannya. Tampilan ide-ide itu tentu dimaksudkan untuk memancing nalar berpikir kita melihat realitas sekitar untuk kemudian menempatkan posisi duduk berpikir kita pada tempat yang tepat.Terlebih dalam konteks relasi agama dan negara di Indonesia.
Bicara soal negara, semua kita pasti langsung ingat Plato. Plato dalam karya yang ternama Republica berpendapat negara yang benar adalah negara yang mampu mendorong setiap warganya unutk menjalankan keutamaan-keutamaan terutama: kebijaksanaan, menjalankan kebaikan dan mempunyai idealisme tentang kebaikan.
Masih dalam pemikiran Plato tujuan sebuah negara tidak lain adalah untuk kesejahteraan bersama. Dan moralitas memainkan peranan yang penting untuk mendukung tujuan negara.
Sedangkan Aristoteles masih dalam alur berpikir yang sama mengatakan bahwa manusia secara natural adalah animale politico. Sebuah negara yang baik harus mempunyai wajah yang terbuka akan adanya hubungan interpersonal, pluralisme, demokrasi dan moralitas yang terjamin dari aparatur administrasinya dan warganya. Dan negara yang baik adalah negara yang praksis moralnya berjalan dengan baik.
Kita bergeser sebentar pada zaman Patristik (Bapa-Bapa Gereja). Zaman ini ditandai oleh keberadaan Gereja yang sedang mencari identitas diri. Penilaian terhadap negara sebagai “surga dunia” dan surga sebagai “tanah air kita” menjadi sangat dominan pemikiran Bapa-bapa Gereja. Derasnya alur gaya pikir ini berpengaruh terhadap tarikan antara Paus (surga) dan kaisar/raja (dunia).
Dikotomi kepemimpinan mulai muncul disini. Misalkan kita bisa menengok ide dari Agustinus tentang Civitas Dei. Agustinus berpendapat bahwa Anggota Gereja mempunyai 2 kewarga-negaraan: dunia dan surga. Namun Gereja paling rapresentatif untuk menghadirkan Surga di dunia ini. Maka komunitas Gereja adalah societas perfecta.
Kesempurnaan itu disebabkan oleh kehadiran Kristus secara penuh. Gereja juga adalah visible city dari Kota surgawi yang tak kelihatan. Maka kota dunia “profan” harus tunduk kepadanya. Implikasi dari gaya pikir ini adalah bahwa negara harus tunduk kepada Gereja. Konflik konseptual dari dikotomi diatas memuncak pada persaingan antara Paus Gregorius VII (1073-1085) dan Raja Henry VI.
Pemikiran yang tak kalah penting datang dari Thomas Aquinas. Menurut T. Aquinas tujuan dan cita rasa (sense) dari sebuah komunitas adalah merealisasikan Bonum Comune (kesejahteraan bersama). Setiap aksi sosial harus menghantar orang untuk sejahtera. Untuk membangun Bonum Comune masyarakat harus: mengikat diri dalam perjanjian perdamaian dan mengarahkan diri kepada kebaikan.
Bagi Thomas Aquinas, hidup duniawi berpartisipasi di dalam hidup surgawi. Post pemikiran Thomas Aquinas cukup bergema usaha-usaha untuk memecahkan negara dan Gereja. Misalkan, usaha dari kaum konservatif yang berpendapat bahwa nilai-nilai Katolik harus tetap tinggal di Eropa sebagai bentuk sumbangan dalam negara, gereja-gereja atau bangunan gotik harus dipertahankan, lagu gregoriana harus dinyanyikan dalam misa, dll.
Sedangkan kaum Aufklaerung mengusung ide bahwa budaya eropa mempunyai nilai tersendiri maka harus tetap dijaga. Sebenarnya ide dari dari kedua kelompok sama yakni mengerucut pada narasi bahwa: iman Katolik tidak dapat dipisahkan dari budaya Eropa. Eropa dibudayakan oleh Kekristenan dan kekristenan dibudayakan oleh Eropa. Maka munculah identifikasi, bicara eropa sama dengan bicara soal kekatolikan. Eropa sama dengan katolik.
Gesekan Agama-Negara
Jika kita ingin membuat sebuah teropong analisis relasi agama dan negara, boleh dibilang kadang intim (baca: akrab)-kadang renggang, statis-dinamis, eksklusif-inklusif. Ada fluktuasi. Ada turbelensi. Dan ada pula gesekan-gesekan keras-ringan dalam relasi agama- negara itu. Kita bisa bersama mencatat paling tidak ada 3 gesekan yang terjadi dalam relasi agama-negara: pertama, eksklusivisme agama: biasanya yang terjadi disini adalah kelompok agama hanya memperlihatkan dirinya sendiri saja, menganggap diri paling baik dari kelompok lain.
Kelompok agama menganggap komunitasnya sebagai komunitas yang sempurna/perfecta (societas perfecta) dan berusaha menyingkirkan kelompok lain, termasuk negara. Agama selalu benar dan negara selalu salah.
Halaman : 1 2 Selanjutnya