Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu mengatakan, hukuman fisik seperti ini seolah-olah dianggap wajar karena orang yang mendapat hukuman juga menuruti begitu saja.
Seharusnya, lanjut dia, mereka yang mendapat hukuman bisa langsung menolak bahwa sanksi seperti itu tidak sesuai dengan aturan yang ada.
“Seperti sanksi untuk ASN itu tidak ada hukuman fisik, setiap kesalahan baik ringan, sedang, berat itu sanksinya sudah diatur jelas, demikian juga untuk pimpinan di perbankan itu juga ada mekanisme sesuai hierarki yang ada,” katanya lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut dia, hukuman seperti ini tidak hanya mencederai etika, namun juga memberikan dampak buruk pada pihak lainnya terutama sanaK keluarga yang bersangkutan. “Istri mereka, anak-anak mereka pasti sakit hati karena harus menanggung malu di lingkungan pergaulan mereka,” katanya lagi.
Dia mengatakan, sebagai manusia pasti memiliki kesalahan atau kekeliruan, termasuk para pejabat. Karena itu, lanjut dia, gubernur sebagai seorang pemimpin mestinya memberikan sanksi atau pembinaan secara proporsional sesuai perbuatan yang dilakukan.
“Saya kira hukuman fisik seperti hanya di NTT yang seperti ini, di tingkat pusat maupun daerah-daerah lain tidak ada seperti ini, karena memang tidak sesuai dengan etika dalam menjalankan pemerintahan,” pungkasnya. (Ant)
Halaman : 1 2