Aksi penolakan tambang emas PT Trio Kencana yang dilakukan warga di Kecamatan Toribulu, Kasimbar, dan Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah pada Sabtu, (12/2) lalu mendapat tindakan represif dari aparat kepolisian.
Aksi lanjutan dari warga itu, menyebabkan seorang peserta aksi, Aldi (21), tewas tertembak, 59 peserta aksi lainnya ditangkap secara semena-mena dan sempat ditahan di Polres Parigi Moutong.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut konflik pertambangan di Indonesia tak lepas dari proses penerbitan perizinan tambang yang berlangsung dalam ruang tertutup, penuh transaksional dan koruptif, serta tidak berangkat dari aspirasi warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Kampanye Nasional Jatam, Melky Nahar menyebut, fenomena ini terjadi sejak lama dan puncaknya pasca UU Minerba No 4 Tahun 2009 berlaku, dimana bupati/walikota/gubernur/Menteri ESDM memiliki kewenangan yang sama dalam menerbitkan izin tambang.
“Kedua, regulasi yang berpihak pada kepentingan korproasi dan pejabat pemberi izin, sehingga warga kehilangan hak veto, untuk menyatakan menolak,” kata Melky saat dihubungi, Kamis (17/2).
Menurutnya, konflik kemudian terjadi, ketika izin-izin tambang itu masuk dan mencaplok ruang hidup warga. “Muncul resistensi, namun pemerintah mengatasi itu dengan pendekatan keamanan yang selalu represif,” ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR Mulyanto berpendapat, berbagai kasus penolakan tambang yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini terkait dengan sentralisasi perizinan, khususnya dari aspek analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Terutama terkait dengan partisipasi masyarakat.
Halaman : 1 2 Selanjutnya