Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaan yang muncul di benak publik sekarang adalah bagaimana sikap Fadli Zon dan Fachri Hamzah setelah mendapat penghargaan prestisius tersebut. Apakah masih nyinyir. Masih akan kritis terhadap Jokowi dan pemerintah. Menjawab pertanyaan ini kita perlu membedakan antara nyinyir dan kritis. Nyinyir dan kritis sama-sama merupakan kata sifat.
Kata “nyinyir” menurut KBBI adalah mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet. Sedangkan makna “kritis” di bagian makna ke 2, menurut KBBI dapat diartikan bersifat tidak lekas percaya; bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; tajam dalam penganalisisan;
Oleh karena itu, yinyir belum tentu kritis, dan kritis belum tentu nyinyir. Ada orang yang sekadar nyinyir tapi substansinya tidak mengandung unsur kritik. Ada juga orang yang kritis terhadap suatu masalah tetapi belum tentu nyinyir. Nah Fadli Zon dan Fachri Hamzah ini dinilai publik memiliki kemiripan gaya berkomunikasi di ruang publik. Keduanya sama sama suka nyinyir, sama sama memiliki sifat kritis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masalahnya, jika nyinyir itu sudah menjadi watak dan tabiat, maka sulit untuk merubah. Beda jika sifat nyinyir tersebut hanya sekadar tuntutan peran seorang aktor politik atau sinetron/film. Nah disini perlu diuji, apakah kenyinyiran Fadli dan Fachri ini watak atau sekadar peran. Mungkin waktu yang akan menentukan.
Soal sikap kritis, justru baik untuk membangun demokrasi yang sehat. Pemerintahan dalam negara demokrasi perlu check and balances. Namun, yang perlu diperbaiki adalah cara-cara kritik yang kerap melampaui makna kritik itu sendiri. Kritik beda dengan caci maki. Kritik beda dengan fitnah. Maka dari itu, saatnya sekarang merubah paradigma kritik destruktif menjadi kritik konstruktif agar energi demokrasi menjadi positif untuk memajukan bangsa dan negara yang penuh dengan tantangan.
Karyono Wibowo, pemerhati sosial politik dan kebangsaan
Halaman : 1 2