Koordinator TDPI Petrus Selestinus menilai penolakan Puspom TNI atas penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto terkait kasus dugaan suap proyek di Basarnas merupakan bentuk intervensi kekuasaan yang merobek independensi KPK dalam menjakankan tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Pasalnya, kata Petrus, apa yang diduga dilakukan oleh 2 oknum TNI hingga kena OTT KPK itu harus dipandang sebagai tindakan pribadi, untuk kepentingan pribadi dan orang lain, bukan untuk dan atas nama serta kepentingan institusi TNI.
“Malah memberi kesan seolah-olah uang hasil korupsi itu mengalir ke institusi TNI sehingga Puspom TNI berkentingan mengambil-alih,” kata Petrus kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (29/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan demikian, lanjut Petrus, pertanggungjawaban pidana yang diminta oleh KPK terhadap kedua oknum TNI yang terkena OTT KPK-pun ditujukan kepada dan bersifat pertangungjawaban pribadi ke dua oknum TNI dimaksud, bukan tanggung jawab institusi TNI.
Menurutnya, jika Puspom TNI ingin membela anak buahnya yang terlibat tindak pidana, maka hal itu hanya boleh dilakukan dengan membentuk tim penasehat hukum dan melakukan pembelaan melalui upaya hukum ke praperadilan atau gugatan ke pengadilan sesuai ketentuan pasal 63 UU KPK.
“Sikap Puspom TNI datang ke KPK hendak menarik perkara kedua anak buahnya yang terkena OTT KPK untuk ditangani sendiri, hal itu cerminan dari arogansi kekuasaan. Ada keinginan untuk menumbuhkan sikap kebal hukum di kalangan prajurit TNI ketika berhadapan dengan kasus hukum dengan masyarakat sipil,” tegasnya.
“Jika TNI ingin menggunakan hukumnya sendiri, untuk mengurus sendiri anak buahnya, maka ubahlah dulu hukumnya melalui proses legislasi di DPR bukan dengan cara “show of force” PUSPOM TNI ke KPK untuk menarik tersangka dan berkasnya guna melakukan penyelidikan sendiri, sepertihalnya dalam kasus OTT KPK kali ini,” imbuhnya.
Halaman : 1 2 Selanjutnya