Perilaku intoleran dan radikal di wilayah Sikka ini jangan dianggap remeh. Cepat atau lambat, Sikka bisa menjadi basis gerakan radikalisme, selain di Kota Kupang.
Ada beberapa fakta yang patut dicurigai sebagai agenda terselubung dari gerakan ini. Pertama, aksi jual beli bahan peledak untuk bom ikan di kalangan para Nelayan di NTT terutama di Sikka yang kian marak. Kedua, perilaku intoleran dan radikal oleh sekelompok warga Muslim di Masjid Baitul Sadik, Nangahale, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka. Mereka menolak hukum negara karena hanya mau tunduk kepada perintah Allah sesuai hukum syariah.
Mantan Kepala BNPT, Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai, sat menjadi ahli di persidangan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta tanggal 1 Maret 2018, mengatakan bahwa ada bibit radikalisme pada tubuh simpatisan HTI dalam memperjuangkan ideologinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut dia, simpatisan HTI selalu berlindung di balik dalih mengatasnamakan syariah Islam menurut kebenaran yang mereka yakini saja. Pandangan Ansyaad Mbai ini koheren dengan sikap sekelompok warga Muslim di Nagahale, Sikka.
Pembangkangan sekelompok warga Muslim di Masjid Baitul Sadik, Nangahale atas nama hukumnya sendiri, pertanda bibit-bibit Radikalisme sudah tumbuh dan saatnya sikap radikal memaksakan kehendak dipertontonkan secara terbuka, menolak hukum negara dan kekuasaan aparatur negara dan hanya mau tunduk kepada hukum syariah.
Mereka ingin berbeda sendiri dari mayoritas warga muslim Sikka lainnya. Ini adalah pola gerakan HTI atau simpatisan HTI yang wajib diwaspadai.
Warga Diberdayakan untuk Kontra Radikalisasi
Sebagai warga masyarakat yang heterogen dan toleran di tengah ancaman intoleransi dan radikalisme, maka seluruh warga Flores harus diberdayakan untuk mampu melakukan gerakan kontra radikalisasi. Baik itu melalui kontra narasi, kontra propaganda dan kontra ideologi. Warga juga diberdayakan untuk secara konsisten mempertahankan 4 pilar negara yaitu NKRI, Pancasila, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika, yang selalu dicoba untuk diganti dengan ideologi khilafah.
Menguatnya radikalisme di Flores saat ini, karena lemahnya kepemimpinan yang hanya membangun citra diri seolah-olah telah menjadi pemimpin yang memberikan pelayanan terhadap seluruh kepentingan warganya. Padahal sesungguhnya mereka hanya memburu rente demi meraih kekuasaan politik, mengorbankan kepentingan umum yang lebih besar, membiarkan bibit-bibit intoleransi dan radikalisme bersemai demi mendulang suara.
Kepemimpinan lokal hasil Pilkada sangat rapuh dan lemah. Karena itu harus ditopang dengan kebijakan pimpinan TNI dan Polri dalam menempatkan aparatur terbaiknya di daerah, secara selektif dan sangat hati-hati, demi menjaga kehormatan dan wibawa negara serta hak-hak warga bangsa yang majemuk agar tidak terpapar intoleransi dan radikalisme, yang saat ini mulai muncul dan mengancam kehidupan warga masyarakat di daerah.
Halaman : 1 2 Selanjutnya