Akibat pembakaran rumah ibadah itu, mereka dilarang melaksanakan kebaktian secara berjemaah sejak 2004 hingga 2009.
Setahun kemudian, perwakilan umat Katolik mendatangi pemuka masyarakat dan pemerintah Nagari untuk meminta izin kembali agar dapat melaksanakan ibadah bersama. Kemudian, perwakilan umat Katolik dan Wali Nagari serta tokoh adat bernegosiasi.
“Hasilnya, dari 2010 sampai 2017, umat Kalolik dapat memanfaatkan rumah warga yang sudah dibangun kembali untuk kebaktian secara berjemaah,” terangnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 2017 terjadi pergantian Wali Nagari Sikabau. Kemudian, pada 22 Desember 2017, Wali Nagari Sikabau mengirimkan surat pemberitahuan, isinya melarang kegiatan perayaan Natal 2017 dan Tahun Baru 2018.
Surat itu hanya mengizinkan umat Katolik di Jorong Kampung Baru, Dharmasraya, melaksanakan ibadah secara individu di rumah masing-masing. Ia juga melarang umat Katolik di sana mengundang umat Kristen yang lain.
“Jika tidak dipatuhi, akan dilakukan tindakan secara tegas,” ujar Sudarto.
Berdasarkan pernyataan sikap Wali Nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat, dan pemuda Nagari Pulau Punjung, mereka tidak mengizinkan umat Kristen beribadah lantaran umat Kristen di daerah itu “bertambah banyak” demi “menghindari dampak sosial.”
Dasarnya, Wali Nagari Sikabau memegang teguh “Adat basandi syara, syara’ basandi Kitabullah.” Artinya, adat bersendi syariat dan syariat bersendi Al-Quran.
Sementara warga Kristen di Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung, juga mengalami kesulitan yang sama.
Ada tiga jemaat di Sijunjung, kabupaten tetangga dengan Dharmasraya ini: sekitar 120 kepala keluarga dari Huria Kristen Batak Protestan, 60 kepala keluarga dari Katolik, dan sekitar 30 kepala keluarga dari Gereja Bethel Indonesia (GBI).
Setiap tahun, menurut Sudarto, mereka dilarang merayakan ibadah kebaktian maupun Natal bersama oleh pemda setempat, hanya diizinkan menjalani ibadah di rumah masing-masing.
Problem mereka sama: mereka tak punya gereja sendiri, hanya punya rumah pribadi yang dipakai sebagai tempat ibadah.
Jemaat HKBP saat ini diizinkan menjalani kebaktian di rumah ibadah, menurut Sudarto, “mungkin karena HKBP ada hubungan personal dengan pemerintah dan tokoh adat setempat.”
Sementara jemaat GBI bila ingin merayakan ibadah bersama di gereja harus pergi ke gereja di Rimbo Bujang, Jambi, sekitar 196 km.
Adapun jemaat Katolik di Sijunjung menghadapi kesulitan yang sama sebagaimana umat Katolik di Dharmasraya: pergi ke Kota Sawahlunto untuk beribadah di gereja.
Meski larangan merayakan Natal bersama itu menyulitkan, umat Kristen di dua kabupaten di Sumatera Barat ini memilih “untuk pasrah dengan peraturan,” ujar Sudarto.
Merespons larangan ini, Sudarto telah membawa kasus larangan ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Halaman : 1 2