Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan budaya berlimpah. Setiap daerah di Nusantara memiliki kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita bahkan melalui tindakan nyata yang paling sederhana dari lingkungan keluarga.
Kebijaksanaan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kebijaksanan lokal itu juga ada dalam budaya Manggarai, NTT. Siprianus Guntur, seorang warga Manggarai coba menghimpun tujuh kebijaksanaan lokal Manggarai yang dibagikannya melalui akun Facebook pada 2018 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Setiap anak yang lahir dari rahim “Nuca Lale” atau “Tanah Congka Sae” Kabupaten Manggarai, Flores-NTT, mesti berbangga hati dan apresiasi kepada pada leluhurnya karena telah mewarisi nilai-nilai sosio-kultural yang luar biasa seperti bahasa, adat istiadat dan kebiasaan lainnya.
Berikut ini saya coba angkat kembali salah satu nilai itu khususnya kata-kata “dalam” yang dirangkaikan dalam inisial secara runut sesuai dengan tujuan dan makna yang termaktub dalam kata-kata itu yaitu 7T (toing, teing, tiba, toming, tatong, titong, dan tinu),” tulis Siprianus Guntur.
Berikut 7 kebijaksanaan atau kearifan lokal Manggarai yang dihimpun Siprianus Guntur:
1. Toing
Toing diaplikasikan dalam bentuk nasihat-nasihat, entah sifanya wejangan-wejangan rohani, kiat-kiat budaya, atau jargon-jargon terkait dengan nilai kultural, moral, sosial, dan lain-lain.
Toing adalah upaya memberitahukan atau menerus-lanjutkan apa yang menjadi benar dan baik di kalangan adat kita. Lewat aktivitas Toing, kita akan menerima sejumlah nasehat, kiat dan wejangan yang berfungsi sebagai “kompas” atau pedoman/guideline sehingga kita tidak jatuh pada kesalahan serupa pada masa-masa menanti.
Prinsip dari “toing” ini adalah “toe tombos cokol, agu toe tudas tura” (secara literasi bisa diterjamahkan: apa yang kita pinjam atau kreditkan, tidak perlu diperbincangkan atau mengisahkanya kepada orang lain. Atau terjemahan bebasnya: apa yang diberikan tangan kanan, jangan sampai diketahui tangan kiri (refer to nasihat Injili).
2. Teing
Teing selalu berselaras dengan kata `toing`. Toing tanpa `teing` adalah sia-sia. Satu catatan bagi pihak pemberi/`teing` adalah harus “teing taung”, artinya memberikan secara sepenuh hati, bukan dengan setengah-setengah.
Dengan kata lain, tanpa tedeng aling-aling/menuntut balasan (pamrih). Kiat Manggarai terkait aktivitas “teing” ini adalah: “teings ata di`ad, okes ata ngonded, wurs ata rucukd agu kandos ata dangod`.
3. Tiba
Tiba adalah aktivitas resiprositas (timbal balik) antara pihak yang “teing” (pemberi) dengan pihak yang “tiba”/penerima. Tiba ini tidak hanya identik dengan penerimaan logistik atau barang-barang fisik, tetapi juga menerima ajaran-ajaran yang baik dan benar.
Dengan menerima secara terbuka dan transparan, sebenarnya kita tengah menjawab “ya”/`eng` terhadap tindakan pihak penunjuk (toing). “Tiba” ini tidak terlepas dari kata `toing` dan `teing` pada point 1 dan 2 di atas tadi.
4. Toming
Toming adalah sebuah aktivitas memberi teladan atau contoh atau patrun. Toming ini biasanya diberikan oleh tetua kepada yang muda, atau dari yang berpengalaman kepada yang belum banyak pengalaman atau juga dari senior kepada yunior, tentu terkait apa saja.
Halaman : 1 2 Selanjutnya